š® Interaksi Antara Sistem Keuangan Negara Dengan Sistem Politik Bersifat
Aristotelesberkesimpulan bahwa usaha memaksimalkan kemampuan individu dan mencapai bentuk kehidupan sosial yang tinggi adalah melalui interaksi politik dengan orang lain. Interaksi itu terjadi di dalam suatu kelembagaan yang dirancang untuk memecahkan konflik sosial dan membentuk tujuan negara.
Istilahpublic berasal dari bahasa Inggris artinya: Umum, Masyarakat atau Negara. Dalam bahasa Indonesia sesuai terjemahan yaitu Praja (rakyat). Masyarakat adalah sejumlah orang yang bersama-sama menjadi anggota suatu Negara, yang harus dibina dan dilayani oleh administrasi publik setempat. Masyarakat dibagi dua yaitu: Penduduk dan bukan penduduk.
MengenalLebih Dekat Stabilitas Sistem Keuangan dan Makroprudensial. Indonesia pernah menjadi salah satu negara yang terkena dampak krisis keuangan global pada 1998 dan 2008. Dampak yang dirasakan oleh Indonesia antara lain pelemahan nilai tukar rupiah, inflasi yang tinggi, serta perlambatan pertumbuhan perekonomian.
TANTANGANSISTEM KEUANGAN ISLAM SEBAGAI ALTERNATIF SISTEM KEUANGAN GLOBAL Oleh : Nur Chamid1 Abstrak Dalam sejarah ekonomi dunia, ternyata krisis sering terjadi di mana-mana dan melanda hampir semua negara yang menerapkan sistem kapitalisme. Kapitalisme modern saat ini dibangun dengan monetary based economy (ekonomi berbasis sektor moneter atau
adanyainteraksi antara komponen sistem politik yang satu dengan yang lain. dalam sistem politik ada struktur kerja yang telah diatur secara jelas atau mempunyai mekanisme kerja. dalam setiap komponen sistem politik terdapat suatu kekuasaan dengan tingkat yang berbeda-beda, yang berfungsi untuk mengatur kinerja maupun interaksi dalam komponen.
Dalamdokumen 42 Demokrasi Tak Terlembagakan 53 Politik Kesejahteraan di Tingkat Lokal 67 Gerakan Pro-Demokrasi: Mengambang Tanpa Strategi yang Berakar (Halaman 55-60) Pada awalnya, studi tentang mekanisme pengelolaan sumber daya berkembang dalam kajian-kajian ekonomi karena berhubungan erat dengan upaya penciptaan kemakmuran dalam arti material.
Dhakidae Partai-Partai Politik Indonesi, Jakarta, Kompas. 2004. Marudut Simbolon : Partai Politik Dan Sistem Politik (Suatu Studi Transformasi Pemikiran Dan Teori Analisis Sistem Politik Gabriel A. Almond Dalam Persfektif Politik Pemerintahan SBY-JK), 2008.
ViewArtikel Negara dan sistem MEDICINE 1111 at State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta. Kelebihan Dan Kekurangan Sistem Politik Amerika Serikat Yang Menganut
SEKOLAHSEBAGAI SISTEM SOSIAL. 1. KULTUR SEKOLAH. Sekolah adalah sebuah konsep yang mempunyai makna ganda. Pertama, sekolah berarti suatu bangunan atau lingkungan fisik dengan segala perlengkapannya yang merupakan tempat untuk menyelenggarakan proses pendidikan tertentu bagi kelompok manusia tertentu. Dengan demikian, apabila kita mendengar
. This study raises the issue of the influence of political connections and managerial ownership structures on firm value based on the phenomenon of political connection practices that occur in manufacturing companies in Indonesia. This study aims to analyze and obtain empirical evidence of the influence of political connections and managerial ownership structures on the value of the company where the long-term goals of the formation of companies to maximize the value of the company by increasing the prosperity of the owner or shareholders. This research sample uses secondary data derived from the financial statements of manufacturing companies listed on the Indonesia Stock Exchange in 2012-2016. Samples were taken using purposive sampling and that met the sample selection criteria. The sample used was 87 companies. Data is processed with Eviews 9 software using the General Least Square GLS method. The results of the study show that political connections have a positive positive effect on company value. While the managerial ownership structure does not have a significant effect on firm value. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free p-ISSN 2301-4075 e-ISSN XXXX- XXXX JURNAL AKUNTANSI, Vol. 8, No. 1, April 2019 1 PENGARUH KONEKSI POLITIK DAN STRUKTUR KEPEMILIKAN MANAJERIAL TERHADAP NILAI PERUSAHAAN Ahmad Maulana1, Lela Nurlela Wati2 1STIE Muhammadiyah Jakarta, ahmadmaulanayusuf120770 2 STIE Muhammadiyah Jakarta, lela ABSTRAK Penelitian ini mengangkat isu Pengaruh koneksi politik dan struktur kepemilikan manajerial terhadap nilai perusahaan berdasarkan fenomena praktik koneksi politik yang terjadi pada perusahaan-perusahaan manufaktur yang berada di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan memperoleh bukti empiris pengaruh koneksi politik dan struktur kepemilikan manajerial terhadap nilai perusahaan dimana tujuan jangka panjang dari dibentuknya perusahaan untuk memaksimalkan nilai perusahaan dengan meningkatkan kemakmuran pemilik atau pemegang saham. Sampel penelitian ini menggunakan data sekunder yang berasal dari laporan keuangan perusahaan-perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2012-2016. Sampel diambil dengan menggunakan purposive sampling dan yang memenuhi kriteria pemilihan sampel. Sampel yang digunakan sebanyak 87 perusahaan. Data diolah dengan software Eviews 9 menggunakan metode General Least Square GLS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa koneksi politik memiliki pengaruh positif signifikan terhadap nilai perusahaan. Sedangkan struktur kepemilikan manajerial tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan. Kata kunci Koneksi Politik, Kepemilikan Manajerial, Nilai Perusahaan ABSTRACT This study raises the issue of the influence of political connections and managerial ownership structures on firm value based on the phenomenon of political connection practices that occur in manufacturing companies in Indonesia. This study aims to analyze and obtain empirical evidence of the influence of political connections and managerial ownership structures on the value of the company where the long-term goals of the formation of companies to maximize the value of the company by increasing the prosperity of the owner or shareholders. This research sample uses secondary data derived from the financial statements of manufacturing companies listed on the Indonesia Stock Exchange in 2012-2016. Samples were taken using purposive sampling and that met the sample selection criteria. The sample used was 87 companies. Data is processed with Eviews 9 software using the General Least Square GLS method. The results of the study show that political connections have a positive positive effect on company value. While the managerial ownership structure does not have a significant effect on firm value. Keywords Political Connections, Managerial Ownership, Corporate Values p-ISSN 2301-4075 e-ISSN XXXX- XXXX JURNAL AKUNTANSI, Vol. 8, No. 1, April 2019 2 PENDAHULUAN Indonesia merupakan laboratorium penelitian yang menarik untuk manganalisis pengaruh koneksi politik dan kepemilikan manajerial terhadap nilai perusahaan, karena beberapa alasan. Salah satunya adalah, Indonesia negara dari pasar modal yang baru berkembang dan cenderung tersegmentasi dari pasar modal dunia Cheung dan Lee, 2003. Nilai perusahaan yang tinggi menunjukkan prestasi kinerja yang baik sehingga menjadi keinginan para pemiliknya. Semakin tinggi nilai perusahaan, semakin besar kemakmuran yang akan diterima oleh pemilik perusahaan, untuk itu semakin tinggi nilai perusahaan, maka akan semakin menarik pihak luar untuk berinvestasi pada suatu peusahaan Wiagustini, 2013. Naik turunnya nilai perusahaan salah satunya dipengaruhi oleh struktur kepemilikan. Struktur kepemilikan sangat penting dalam menentukan nilai perusahaan. Dua aspek yang perlu dipertimbangkan ialah 1 konsentrasi kepemilikan perusahaan oleh pihak luar outsider ownership concentration dan 2 kepemilikan perusahaan oleh manajemen management ownership. Pemilik perusahaan dari pihak luar berbeda dengan manajer karena kecil kemungkinannya pemilik dari pihak luar terlibat dalam urusan bisnis perusahaan sehari-hari Sri Rejeki, 2007. Perusahaan yang terkoneksi politik lebih umum dijumpai pada negara yang memiliki perlindungan hukum yang lemah terhadap investor dan memiliki tingkat korupsi yang tinggi Faccio, 2006. Bukti empiris mengenai peryataan ini dapat ditemukan pada penelitian Faccio 2006 yang melakukan penelitian cross-country mengenai hubungan politikyang duimiliki perusahaan dan menemukan bahwa perusahaan yang memiliki hubungan politik memang lebih lazim ditemukan pada negara dengan level korupsi yang tinggi dan sistem hukum yang lemah. Indonesia juga merupakan salah satu negara yang memiliki konsentrasi hubungan politik tertinggi dibandingkan dengan negara-negara lain Faccio, 2006. Wati 2017 mendukung temuan Facio 2006, dimana koneksi politik di perusahaan konglomerasi di Indonesia dapat meningkatkan kinerja perusahaan baik jangka pendek maupun jangka Panjang. Bukti empiris ini menunjukkan bahwa koneksi politik masih relevan pada perusahaan Indonesia. Terlebih lagi, pada dekade terakhir, semakin banyak berita terkait korupsi birokrasi yang melibatkan pemerintah, perusahaan, dan partai politik yang diangkat keranah umum. Hal ini semakin memperkuat adanya tujuan tersendiri yang bersifat politis saat koneksi politik masuk dalam perusahaan. Fakta bahwa Indonesia adalah Negara multipartai juga membuat adanya perspektif partai yang harus dikaji. Banyak perusahaan yang memiliki koneksi politik dengan partai politik karena personil partai juga menjabat atau memiliki kepentingan yang cukup besar pada perusahaan terkait. Politisi dan atau figur pemerintah menjaga kepentingan dengan perusahaan tersebut untuk mengendalikan perusahaan demi mencapai tujuan mereka dan tentunya memberi timbal balik kepada para pendukung politik Bliss dan Gul, 2011. Fenomena lainnya yang menarik tentang koneksi politik yaitu fenomena kenaikan harga-harga saham pada perusahaan terkoneksi politik pada pemilu 2009 dan 2014. Terdapat indikasi peningkatan nilai pasar konglomerat yang memiliki koneksi politik dengan pemenang pemilihan partai dan Presiden, terutama di perusahaan besar dan perusahaan milik negara Wati et. al., 2016. Nilai kapitalisasi pasar konglomerat meningkat secara signifikan pasca pemilihan baik pada tahun 2009 atau pada tahun 2014. Peningkatan harga saham perusahaan menunjukkan bahwa para pengusaha dan pemimpin perusahaan di negara-negara berkembang seperti Indonesia dengan tingkat korupsi yang masih tinggi, masih meyakini bahwa koneksi politik menyediakan pelumas untuk mencapai tujuan perusahaan, sehingga mereka melakukan upaya signifikan untuk membina koneksi politik dalam rangka mencapai pertumbuhan perusahaan, mereka menyadari bahwa koneksi politik adalah sumber daya berharga untuk perusahaan Wati et al., 2016; Li et al., 2012. Fenomena lainnya dalam banyak kasus di Indonesia dalam proses memaksimalkan nilai perusahaan akan muncul konflik kepentingan antara manajer dan pemegang saham pemilik perusahaan yang sering disebut agency problem. Tidak jarang pihak manajemen yaitu manajer perusahaan mempunyai tujuan dan kepentingan lain yang bertentangan dengan tujuan utama p-ISSN 2301-4075 e-ISSN XXXX- XXXX JURNAL AKUNTANSI, Vol. 8, No. 1, April 2019 3 perusahaan dan sering mengabaikan kepentingan pemegang saham. Perbedaan kepentingan antara manajer dan pemegang saham ini terjadi karena manajer lebih mengutamakan kepentingan pribadi, sebaliknya pemegang saham tidak menyukai kepentingan pribadi dari manajer karena apa yang dilakukan manajer tersebut akan menambah biaya bagi perusahaan sehingga menyebabkan penurunan keuntungan perusahaan dan berpengaruh terhadap nilai perusahaan Wati, 2016. Fenomena dalam banyak kasus di Indonesia, kepemilikan saham terbesar pada suatu perusahaan terkosentrasi pada kepemilikan keluarga. Shleifer dan Vishny 1986 berpendapat bahwa konsentrasi kepemilikan memiliki pengaruh terhadap nilai perusahaan dan hubungannya tidak linear. Dijelaskan dalam penelitiannya bahwa kepemilikan yang tersebar menghasilkan masalah free-rider dan membuat manajer semakin sulit dalam melakukan monitoring. Temuan ini menjelaskan bahwa, pada negara dengan kepemilikan tak terkonsentrasi, peningkatan pada konsentrasi kepemilikan akan menyelesaikan masalah free-rider dan monitoring sehingga meningkatkan nilai perusahaan. Namun ketika konsentrasi kepemilikan semakin tinggi, akan memunculkan Agency Problem antara Majority Shareholder dan Minority Shareholder. Jika konsentrasi kepemilikan terlalu tinggi, maka Majority Shareholder dapat melakukan pengambilalihan atau penyalahgunaan asset. Oleh karena itu, penelitian ini mengkaji pengaruh konsentrasi kepemilikan perusahaan di Indonesia, dan hubungannya terhadap nilai perusahaan. Perusahaan di Indonesia terbagi menjadi dua kategori perusahaan, yaitu perusahaan yang dimiliki oleh negara BUMN dan Perusahaan swasta. Rahmani 2004 menyatakan bahwa BUMN yang terdapat di Indonesia kekurangan insentif dan pengawasan. Melihat hasil penelitiannya yang mengambil sampel perusahaan di China, dapat disimpulkan bahwa pada perusahaan dengan ultimate owner-nya, pemerintah dapat dengan bebas mengendalikan strategi manajemen sesuai dengan kepentingannya dan bahkan tak jarang melakukan Asset Tunneling dari perusahaan tersebut untuk kepentingan pemerintah, namun menurut data statistik yang dikeluarkan oleh Bursa Efek Indonesia per Juni 2011, 18 BUMN dari 428 emiten menyumbang 25,9% dari total kapitalisasi pasar. Hal ini menarik karena perusahaan kepemilikan pemerintah yang disebutkan memiliki kinerja yang cenderung negatif ternyata memiliki kapitalisasi pasar yang besar di dalam Bursa Efek Indonesia. Bukti empiris mengenai pengaruh Struktur Kepemilikan saham manajerial pada Nilai Perusahaan menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Nurlela dan Islahuddin 2008, Wahyudi dan Pawestri 2006, serta Haruman 2008 menemukan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan. Barclay dan Holderness 1990 menemukan bahwa tingkat kepemilikan institusional berpengaruh positif signifikan terhadap nilai perusahaan. Purba 2004 menemukan bahwa besarnya proporsi saham publik memiliki hubungan relasi yang positif dengan kinerja perusahaan yang berimbas pada nilai perusahaan. Hasil yang berbeda didapati oleh Sujoko dan Soebiantoro 2007. menemukan bukti bahwa kepemilikan manajerial tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Begitu pula Sofyaningsih dan Hardiningsih 2011 yang tidak dapat membukti kan pengaruh kepemilikan institusional pada nilai perusahaan, serta Soepriyanto 2004 dalam Sofyaningsih dan Hardiningsih 2011 menemukan bukti bahwa Kepemilikan Publik tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan. KAJIAN LITERATUR Teori Agensi Teori keagenan menjelaskan mengenai hubungan antara pemegang saham sebagai principal dan manajemen sebagai agen. Dalam mengelola suatu perusahaan pemegang saham mengontrak agen manajemen untuk bekerja mengelola perusahaan demi kepentingan pemegang saham. Pihak manajemen harus mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada struktur kepemilikan. Menurut penelitian Jensen dan Meckling 1976 hubungan keagenan merupakan suatu hubungan dimana pemilik perusahaan principle mempercayakan pengelolaan perusahaan p-ISSN 2301-4075 e-ISSN XXXX- XXXX JURNAL AKUNTANSI, Vol. 8, No. 1, April 2019 4 oleh orang lain yaitu manajer agent sesuai dengan kepentingan pemilik principle dengan mendelegasikan beberapa wewenang pengambilan keputusan kepada manajer agent. Manajer dalam menjalankan perusahaan mempunyai kewajiban untuk mengelola perusahaan sebagaimana diamanahkan oleh pemilik principle yaitu meningkatkan kemakmuran prinsipal melalui peningkatan nilai perusahaan, sebagai imbalannya manajer agent akan mendapatkan gaji, bonus atau kompensasi lainnya. Principal mempekerjakan agent untuk melakukan tugas untuk kepentingan principal, termasuk pendelegasian otorisasi pengambilan keputusan dari principal. Pemilik modal menghendaki bertambahnya kekayaan dan kemakmuran kepada para pemilik modal, sedangkan manajer juga menginginkan bertambahnya kesejahteraan bagi para manajer. Hal ini menyebabkan timbul konflik antara manajemen dengan pemilik karena masing-masing akan memenuhi kepentingannya sendiri opportunistic behavioral. Pemilik akan mengeluarkan biaya monitoring untuk mengawasi kinerja manajemen. Dasar dari teori agensi dalam penelitian ini adalah adanya perbedaan kepentingan antara agen dan principal untuk memaksimumkan kesejahteraannya masing-masing. Nilai Perusahaan Nilai perusahaan mencerminkan tingkat kesejahteraan perusahaan tersebut. Semakin tinggi nilainya maka akan semakin tinggi juga pandangan masyarakat terhadap tingkat kesejahteraan perusahaan tersebut. Untuk mengukur nilai perusahaan digunakan metode yang dikenal dengan nama Tobin;s Q. Tobinās Q sendiri adalah suatu instrument yang dikembangkan oleh professor James Tobin yang menunjukan estimasi pasar keuangan saat ini atas tiap pengembalian dari investasi. Tobinās Q dihitung dengan menggunakan persamaan matematika sebagai berikut ī¶īī¾ī
īļ±ī³īµļ¼ļŗī®¼īÆīÆ«īīÆīÆØīÆ īÆīÆīÆīīÆīÆīÆīÆīÆ ļ»ī¬¾īÆīÆ
īÆļ»ļ½ī¬æī®¼ī®ŗīī
ī¤ī¤ī¤Dimana CP = Closing Price TL = Total Liabilities I = Inventory CA = Current Assets TA = Total Assets Koneksi Politik Variabel koneksi politik dalam penelitian ini yaitu perusahaan terkoneksi politik apabila sedikitnya salah satu anggota dari Dewan Komisaris yang menjabat ataupun sudah tidak menjabat sebagai pejabat pemerintahan Negara meliputi lembaga-lembaga eksekutif Kementerian Negara, Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen dan organisasi pemerintah pusat lainnya, lembaga legislatif badan-badan perwakilan rakyat, lembaga yudikatif badan-badan peradilan dan lembaga-lembaga lainnya yang diperlukan dalam tatanan Negara. Pada penelitian yang dilakukan Kozlowski, Jackowicz, Mielcarz 2014. Hubungan politik perusahaan, perusahaan dikatakan memiliki koneksi politik jika paling tidak salah satu dari pimpinan perusahaan dewan komisaris atau dewan direksi, pemegang saham mayoritas atau kerabat mereka pernah atau sedang menjabat sebagai pejabat tinggi negara, anggota parlemen atau dekat dengan politisi atau partai politik, digunakan variable dhummy untuk menggambarkan koneksi politik, yaitu dengan memberi angka 1 bagi perusahaan yang terkoneksi politik dan angka 0 bagi perusahaan yang tidak terkoneksi politik. Perusahaan memiliki hubungan politik yaitu 1. Dewan direksi dan/atau dewan komisaris rangkap jabatan sebagai pejabat pemerintah. 2. Dewan direksi dan /atau komisaris merupakan mantan pejabat pemerintah. 3. Pemilik perusahaan atau pemegang saham merupakan politisi pejabat pemerintah atau mantan pejabat pemerintah. 4. Pemilik perusahaan atau pemegang saham memiliki hubungan kedekatan dengan politisi/partai politik, pejabat pemerintah, atau mantan pejabat pemerintah. Mengacu pada penelitian Faccio 2006. p-ISSN 2301-4075 e-ISSN XXXX- XXXX JURNAL AKUNTANSI, Vol. 8, No. 1, April 2019 5 Struktur Kepemilikan Manajerial Kepemilikan manajerial merupakan porsi outstanding share yang dimiliki oleh investor terhadap jumlah seluruh modal saham yang beredar. pemilik memiliki kewenangan yang besar untuk memilih siapa-siapa yang akan duduk dalam manajemen yang selanjutnya akan menentukan arah kebijakan bank tersebut ke depan. Dalam penelitian ini kepemilikan institusional diukur dengan menggunakan indikator persentase jumlah saham yang dimiliki institusi dari seluruh modal saham yang beredar di pasar saham īīīīīī
īī
īī½ī ManajerialMANAJ = īī³ī«īŖīī¦īīīī¦īī«īī«īī¬īīØī£ī°ī§īīŖīī³ī«īŖīī¦īīīī¦īī«īī ī£ī°ī£ī¢īī°īī¢ī§īī®īī±īī°ī¤x100 Variabel Kontrol Usia Perusahaan Variabel umur perusahaan atau firm age dapat dinilai yaitu dengan melihat tanggal pendiriannya maupun dari tanggal terdaftarnya di BEI atau saat perusahaan melakukan innital public offering IPO. Umur perusahaan dalam penelitian ini menggunakan umur perusahaan dari tanggal perusahaan terdaftar di bursa efek. Hal ini dikarenakan, pada saat suatu perusahaan sudah terdaftar dibursa efek Indonesia dan go public. Maka perusahaan harus mempublikasikan pelaporan tahunan mereka kepada masyarakat dan pemakaian laporan tahunan agar informasi yang terkandung didalamnya dapat segera digunakan oleh pihak-pihak yang membutuhkan tersebut. Age = Tahun penelitian ā First Issued di BEI Pengembangan Hipotesis Penelitian yang mendukung adanya hubungan antara koneksi politik dengan nilai perusahaan adalah Zhang, 2010 Keuntungan lain yang di dapat oleh perusahaan yang berkoneksi politik adalah akses yang lebih mudah untuk pembiayaan hutang, pajak yang lebih rendah, dan kekuatan pasar yang lebih kuat. Zhang et, al. memberikan contoh dari hasil laporan penelitiannya bahwa bankir sering dipaksa untuk memberikan pinjaman bagi proyek-proyek yang dilakukan oleh perusahaan yang berkoneksi politik meskipun proyek tersebut diperkirakan tidak menguntungkan. Hubungan politik perusahaan pada dasarnya memberikan dampak yang signifikan bagi aktivitas ekonomi perusahaan. Fisman 2001 mengemukakan bahwa hubungan politik dapat menjadi sumber daya perusahaan yang berharga bila diasosiasikan dengan nilai reputasi dan fungi proteksi yang dibangun karena adanya hubungan politik tersebut. Adapun berbagai motivasi yang ingin dicapai oleh perusahaan dengan dibangunnya hubungan politik, diantaranya adalah memperkuat posisi perusahaan diantara para kompetitornya Bushman & Piotroski, 2006, menghindari peraturan yang ketat yaitu dengan cara menurunkan banyak kontrak Fisman, 2001. Sedangkan hasil penelitian Fan et al. 2004 melaporkan hasil yang berbeda pada hasil penelitiannya bahwa perusahaan yang memiliki CEO berkoneksi politik memiliki kinerja yang lebih rendah sekitar 37% tentunya berdampak pada nilai perusahaan. Perusahaan yang memiliki hubungan politik sering diasosiasikan dengan kualitas pelaporan akuntansi yang rendah Chaney et al, 2011. Perusahaan yang memiliki hubungan politik juga cenderung memiliki kinerja yang lebih buruk dibandingankan dengan perusahaan lain Faccio, 2006. Hal ini terjadi karena manager pada perusahaan yang memiliki hubungan politik tidak mempunyai insentif untuk meningkatkan transparansi, dan hanya peduli pada perolehan keuntungan pribadi yang terkadang mengorbankan stakeholder lainnya Faccio, 2006. Peningkatan harga saham perusahaan menunjukkan bahwa para pengusaha dan pemimpin perusahaan di negara-negara berkembang seperti Indonesia dengan tingkat korupsi yang masih tinggi, masih meyakini bahwa koneksi politik menyediakan pelumas untuk mencapai tujuan perusahaan, sehingga mereka melakukan upaya signifikan untuk membina koneksi politik dalam p-ISSN 2301-4075 e-ISSN XXXX- XXXX JURNAL AKUNTANSI, Vol. 8, No. 1, April 2019 6 rangka mencapai pertumbuhan perusahaan, mereka menyadari bahwa koneksi politik adalah sumber daya berharga untuk perusahaan Wati et al., 2016; Li et al., 2012. Wati 2017 memberikan bukti empiris bahwa koneksi politik memberikan dampak positif terhadap nilai perusahaan. Berdasarkan penjelasan tersebut diatas maka hipotesisnya adalah sebagi berikut H1 Koneksi politik berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan Bukti empiris mengenai pengaruh struktur kepemilikan manajerial pada nilai perusahaan menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Nurlela dan Islahuddin 2008, Wahyudi dan Pawestri 2006, serta Haruman 2008 menemukan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan. Barclay dan Holderness 1990 menemukan bahwa tingkat kepemilikan manajerial berpengaruh positif signifikan terhadap nilai perusahaan. Purba 2004 menemukan bahwa besarnya proporsi saham publik memiliki hubungan relasi yang positif dengan kinerja perusahaan yang berimbas pada nilai perusahaan. Berdasarkan penjelasan tersebut diatas maka hipotesisnya adalah sebagi berikut H2 Pemegang saham manajerial berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan KERANGKA PIKIR Penelitian ini menguji pengaruh dua variabel independen, yaitu koneksi politik dan pemegang saham pengendali terhadap nilai perusahaan, serta menguji dengan menggunakan, Age, sebagai variabel kontrol. Berdasarkan hubungan tersebut maka kerangka penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagi berikut H1 H2 Gambar 1. Kerangka Pikir METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan sampel perusahaan manufaktur yang annual report dari tahun 2012 sampai dengan 2016. Alasan memilih perusahaan manufaktur sebagai objek penelitian karena perusahaan bergerak di sektor riil. Selain itu sektor manufaktur merupakan emiten terbesar perusahaan dibandingkan sektor lainnya. Jumlah perusahaan manufaktur yang listed di BEI tahun Struktur Kepemilikan Manajerial Firm Age Usia perusahaan p-ISSN 2301-4075 e-ISSN XXXX- XXXX JURNAL AKUNTANSI, Vol. 8, No. 1, April 2019 7 2016 sebanyak 135 perusahaan, namun setelah diseleksi berdasarkan kriteria yang ditetapkan maka diperoleh sampel akhir sebanyak 87 perusahaan. Tabel 1 Data Kriteria Sampel Perusahaan Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di BEI Perusahaan dengan annual report tidak lengkap Perusahaan yang sahamnya tidak aktif selama periode penelitian Sumber Data diolah 2018 Dalam penelitian ini dapat dibentuk persamaan Model Penelitian TobinsāQ = α + β1KPit + β2MANAJ + β3Firm Ageit + e Dimana = Tahun penelitian ā First Issued di BEI = Pengukuran Nilai Perusahaan ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN Tabel 2 Daftar Hasil Penelitian Sumber Data diolah, 2018 Berdasarkan data pada tabel 2 di atas, terlihat bahwa nilai minimum Tobinās Q sebesar 0,1881 dan maksimum sebesar Sementara nilai standard deviasi Tobinās Q sebesar sebesar 2,5454, dengan nilai rata-rata Tobinās Q yang dimiliki perusahaan manufaktur periode 2012-2016 adalah 1,9194. Nilai terendah dimiliki oleh PT. Delta Djakarta Tbk pada tahun 2016, dan yang tertinggi PT. Unilever IndonesiaTbk pada tahun 2015. Tobinās Q yang memiliki nilai lebih dari satu mempunyai makna bahwa perusahaan mampu menghasilkan laba dengan tingkat return yang sesuai dengan harga perolehan asetnya-asetnya. Nilai koneksi politik minimum sebesar 0 dan maksimum sebesar 1. Sementara nilai rata-rata Koneksi politik sebesar dan nilai standard deviasi sebesar Nilai 1 Koneksi p-ISSN 2301-4075 e-ISSN XXXX- XXXX JURNAL AKUNTANSI, Vol. 8, No. 1, April 2019 8 Politik dimiliki oleh Polychem Indonesia Tbk, PT. Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk, PT. Alumindo Light Tbk, PT. Arwana Citramulia Tbk, PT. Astra Internasional Tbk, PT. Astra Otoparts Tbk, PT. Charoen Phokphandk Indonesia Tbk, PT. Citra Tubindo Tbk, PT. Delta Djakarta Tbk, PT. Daria Varia LaboratoriaTbk, PT. Ekadharma Internasional Tbk, PT. Eratex Djaja Tbk, PT. Fajar Surya Wisesa Tbk, PT. Gajah Tunggal Tbk, PT. Gajah Tunggal Tbk, PT. HM Sampoerna Tbk, PT. Indofarma PerseroTbk, PT. Indorama Synthetics Tbk, PT. Indospring Tbk, PT. Toba Pulp Lestari Tbk, PT. Jembo Cable CompanyTbk, PT. Jakarta Kyoel Steel Work Tbk, PT. Kimia Farma PerseroTbk, PT. KMI Wire and Cable Tbk, PT. Krakatau Steel Tbk, PT. Multi Bintang Indonesia Tbk, PT. Mulia Industrindo Tbk, PT. Pelat Timah NusantaraTbk, PT. Pelangi Indah CanindoTbk, PT. Bentoel Internasional InvestamaTbk, PT. Holcim Indonesia Tbk, PT. Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT. Surya Toto Indonesia Tbk, PT. Unggul Indah Cahaya Tbk, PT. Unilever Indonesia Tbk. Nilai Kepemilikan manajerial KPM minimum sebesar 0 dimana kepemilikan saham manajerial tidak ada dan maksimum sebesar 0,70 dimana kepemilikan saham manajerial sebesar 0,70 yaitu terendah pada tahun 2012 dan tertinggi tahun 2016 Nilai kepemilikan manajerial minimum sebesar 0 dan maksimum sebesar 0,70. Sementara nilai rata-rata kepemilikan manajerial sebesar dan nilai standar deviasi sebesar Nilai kepemilikan manajerial tertinggi dimiliki oleh PT. Sat Nusapersada Tbk. Nilai f i r m age minimum sebesar 2 tahun dan maksimum usia perusahaan terlama yaitu 39 tahun . Sementara nilai rata-rata firm age sebesar dan nilai standard deviasi sebesar Nilai firm age tertinggi dimiliki oleh PT. Holcim Indonesia Tbk dan yang terendah dimiliki oleh PT. Indofood CBP Sukses Makmur Tbk, PT. Indopoly Swakarsa Industry Tbk, PT. Krakatau Steel Persero Tbk, dan PT. Nippon Indosari Corpindo Tbk pada tahun 2012. Tabel 3 Hasil Pengujian Model Penelitian 0,677582 0,939250 12,31346 1,276644 2549046 -0,979190 0,022207 5,489454 Sumber Data Diolah, 2018 Koefisien regresi yang diperoleh dari pengaruh variabel Koneksi Politik terhadap nilai perusahaan adalah sebesar 0,939250 dengan nilai tstatistik 12,31346 > 1,96 pada taraf signifikan p-ISSN 2301-4075 e-ISSN XXXX- XXXX JURNAL AKUNTANSI, Vol. 8, No. 1, April 2019 9 α = 0,05 5% dengan nilai signifikan 0,0000 0,05. yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh negatif dan tidak signifikan struktur kepemilikan manajerial terhadap nilai perusahaan. Nilai -0,273058 pada koefisien regresi artinya setiap interaksi kepemilikan manajerial naik maka nilai perusahaan akan turun sebesar -0,273058, dan begitu juga sebaliknya. Dengan demikian hasil empiris ini tidak mendukung hipotesis penelitian yang kedua, dimana tidak terdapat pengaruh positif Kepemilikan Manajerial terhadap nilai perusahaan. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa hipotesis ketiga H2 ditolak. Hal ini mendukung penelitian Pertiwi dan Madi 2012, dan Herawati 2006 yang menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial tidak selalu berdampak positif terhadap nilai perusahaan. Perbedaan kepentingan antara manajer dan pemegang saham akan menimbulkan agency conflict, hal tersebut terjadi karena manajer mengutamakan kepentingan pribadi, sebaliknya pemegang saham tidak menyukai kepentingan pribadi dari manajer karena apa yang dilakukan manajer tersebut akan menambah biaya bagi perusahaan sehingga menyebabkan penurunan keuntungan perusahaan dan berpengaruh terhadap harga saham sehingga menurunkan nilai perusahaan Jensen dan Meckling, 1976. Dari hasil tabel 3 diatas terdapat kontrol variabel yaitu age, yang berpengaruh positif signifikan terhadap nilai perusahaan. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin usia perusahaan meningkat maka nilai perusahaan juga akan meningkat. Begitu pula dengan size perusahaan, semakin besar size perusahaan semakin besar pula nilai perusahaan. Dilihat dari robust test model, dimana variabel kontrol yaitu age dihilangkan, menunjukkan hasil pengujian yang konsisten dengan model penelitian utama, dimana koneksi politik berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Begitu juga dengan hasil konsisten yang didapat antara kepemilikan Manajerial dengan Nilai perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa hasil penelitian ini dikatakan robust atau kokoh. Model penelitian dalam tabel 3 di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut Tobins'Q = 0,677582 + 0,939250 KPit + -0,273058 MANAJit + 0,022207 Ageit Nilai konstanta sebesar 0,677582 dapat diartikan jika tidak ada koneksi politik dan kepemilikan manajerial maka nilai perusahaan adalah sebesar 0,677582. Pada model regresi penelitian, interaksi Koneksi Politik mempunyai nilai koefisien regresi yang paling besar jika dibandingkan dengan koefisien regresi lainnya dengan nilai koefisien regresi sebesar 0,939250. Artinya Koneksi politik mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap nilai perusahaan. Nilai adjusted R square determinasi sebesar 0,3661009, artinya nilai perusahaan dipengaruhi oleh Koneksi Politik sebesar 36,61% dan sisanya sebesar dipengaruhi oleh faktor lain diluar penelitian. Variabel yang memberikan pengaruh terkecil terhadap nilai perusahaan adalah MANAJ yang dengan nilai koefisien regresi -0,273058. Hal ini dikarenakan persentase kepemilikan manajerial yang relatif kecil di perusahaan. Pembahasan p-ISSN 2301-4075 e-ISSN XXXX- XXXX JURNAL AKUNTANSI, Vol. 8, No. 1, April 2019 10 Pada pembuktian hipotesis pertama hasil penelitian menunjukkan bahwa terbukti ada pengaruh positif signifikan antara koneksi politik terhadap nilai perusahaan, hal ini konsisten dengan yang dikemukakan oleh Fan, Wong, dan Zhang 2007 bahwa birokrat atau politisi menggunakan sumber daya dari perusahaan milik negara pimpinanya yang tercatat di bursa untuk memenuhi tujuan yang tidak konsisten dengan tujuan memaksimalkan nilai perusahaan. Hillman 2005 lebih lanjut mengatakan bahwa sumber utama dari saling ketergantungan inter dependency bagi suatu bisnis adalah pemerintah. Penelitian yang berhubungan dengan Teori Recource Dependence mununjukkan bahwa board capital legitimasi, anjuran dan saran, hubungan/koneksi dengan organisasi lain, dan lain-lain memiliki hubungan dengan kinerja perusahaan Boyd, 1990; Dalron, Daily, Johnson, dan Ellstrand, 1999. Berdasarkan penelitian sebelumnya, telah dibuktikan bahwa terdapat hubungan positif antara koneksi politik dan nilai perusahaan pada negara dengan sistem hukum yang lemah maupun yang kuat Faccio, 2006; Faccio dan Parsley, 2007; Fisman, 2001; Goldman etal., 2007; Wati, 2017. Terdapat beberapa alasan yang mungkin dapat menjelaskan mengapa perusahaan dengan koneksi politik mungkin untuk memiliki kinerja yang lebih baik daripada perusahaan lainnya Niessen dan Ruenzi, 2010; pertama delagasi politisi hanya memilih perusahaan dengan kinerja yang paling baik sebagai tempatnya bekerja untuk melindungi reputasinya; kedua, politisi biasanya memiliki sudut pandang orang luar perusahaan yang dapat memberi pandangan independen terhadap perusahaan yang dapat memberi dampak positif terhadap kinerja; ketiga, koneksi politk dapat memberi competitive advantage bagi perusahaan seperti akses yang lebih mudah untuk pendanaan yang berasal dari pinjaman, tarif pajak yang lebih rendah, kontrak dengan perusahaan, atau mengurangi persyaratan regulasi. Koneksi politik memiliki peran yang penting dalam perekonomian dimana hukum dan penegakkan hukum lemah, kualitas dari institusi independen untuk mengawasi pemerintah buruk, dan tingkat korupsi tinggi Polsiri dan Jiraporn, 2012. Dikemukakan oleh Bartels dan Brady 2003 dalam Polsiri dan Jirapron 2012 bahwa dalam lingkungan yang telah dipaparkan sebelumnya, kelompok bisnis yang berpengaruh kemungkinan akan mencoba untuk mendapatkan pengaruh politik dalam rangka untuk mengekploitasi sumber daya ekonomi demi kepentingan mereka sendiri dengan membebankan ke masyarakat. Sebagai alternatif, perusahaan mungkin akan mencoba mempengaruhi politisi melalui penyuapan Shleifer dan Vishny, 1994 dalam Polsiri dan Jiraporn 2012. Pada pengujian hipotesis kedua, kepemilikan manajerial tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Pertiwi dan Madi 2012, dan Herawati 2006 yang menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial tidak selalu berdampak positif terhadap nilai perusahaan. Perbedaan kepentingan antara manajer dan pemegang saham akan menimbulkan agency conflict, hal tersebut terjadi karena manajer mengutamakan kepentingan pribadi, sebaliknya pemegang saham tidak menyukai kepentingan pribadi dari manajer karena apa yang dilakukan manajer tersebut akan menambah biaya bagi perusahaan sehingga menyebabkan penurunan keuntungan perusahaan dan berpengaruh terhadap harga saham sehingga menurunkan nilai perusahaan Jensen dan Meckling, 1976. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wati 2016 ditemukan bahwa pada tahun 2014 struktur kepemilikan di Indonesia dikendalikan oleh keluarga sebesar 68,10%. Hal ini menunjukkan rendahnya struktur kepemilikan manajerial karena sebagian besar masih didominasi oleh keluarga. Adanya konsentrasi kepemilikan keluarga mengakibatkan sulitnya manajer dalam menentukan kebijakan karena hak voting dan power yang mayorias dimiliki oleh pemilik dalam penentuan kebijakan sehingga kebijakan yang diambil terkadang bertentangan dengan kepentingan manajer hal ini didukung oleh rata-rata kepemilikan manajerial yang hanya sebesar Dengan rata-rata kepemilikan sebesar itu tentu akan sulit bagi manajer untuk membuat kebijakan atau menentukan tujuan perusahaan jika dihadapkan pada pemilik saham mayoritas. PENUTUP p-ISSN 2301-4075 e-ISSN XXXX- XXXX JURNAL AKUNTANSI, Vol. 8, No. 1, April 2019 11 Penelitian ini menyimpulkan bahwa koneksi politik berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Semakin tinggi koneksi politik maka semakin tinggi nilai perusahaan. Kepemilikan manajerial terhadap nilai perusahaan tidak berpengaruh signifikan. Hal ini dikarenakan adanya agency conflict dan juga proporsi saham yang dimiliki oleh dewan direksi maupun komisaris sangat kecil dengan rata-rata hanya 0,03160. Dengan begitu akan sulit bagi manajerial untuk memegang kontrol dan kendali terhadap keputusan strategis perusahaan. Selain itu mayoritas perusahaan di Indonesia yang masih didominasi oleh kepemilikan keluarga, sehingga hal tersebut akan mendorong praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme yang pada akhirnya akan menjatuhkan nilai perusahaan. Adapun implikasi dari hasil penelitian ini adalah diharapkan dapat menjadi acuan bagi investor dalam menginvestasikan modalnya pada suatu perusahaan. Investor sebaiknya memperhatikan variabel koneksi politik, karena besarnya pengaruh koneksi politik dapat menunjukkan pengaruh terhaadap besarnya nilai perusahaan Perusahaan diharapkan terus meningkatkan nilai perusahaan, namun dengan cara yang positif dan fair yaitu dengan cara meningkatkan prestasi perusahaan, bukan dengan cara peningkatan koneksi politik ataupun lobby-lobby kepentingan politik walaupun berdampak positif terhadap nilai perusahaan. Kepemilikan manajerial yang dilakukan oleh perusahaan diharapkan dilakukan secara berkelanjutan karena dengan rasio kepemilikan saat ini yang begitu kecil tidak mempengaruhi terhadap nilai perusahaan. Pemerintah sudah seharusnya Pemerintah dapat mengendalikan perusahaan-perusahaan dengan mengeluarkan regulasi atau kebijakan-kebijakan pembatasan sampai dengan pelarangan perusahaan melakukan praktik lobbying politik dan memberikan apresiasi bagi perusahaan yang mengedepankan persaingan yang sehat serta fair. Masih terbatasnya literatur yang membahas tentang koneksi politik dan struktuk kepemilikan maka diharapkan semakin banyak penelitian yang di fokuskan kepada hal-hal tersebut. Diharapkan tersedianya ābank dataā dikemudian hari untuk dapat menunjang dan membantu peneitian penelitian selajutnya, dikarenakan cukup sulit untuk memperoleh data dalam penelitian keuangan. Meningkatkan sumber referensi yang ada terutama dalam hal yang berkaitan dengan data keuangan dan data profil lengkap struktur perusahaan. REFERENSI Barclay, Michael and Clifford Holderness, 1990, Negotiated block trades and corporate control, Working paper University of Rochester, Rochester, NY. Bliss, M. A., Gul, F. A., & Majid, A. 2011. Do Political Connections Affect The Role of Independent Audit Committees and CEO Duality? Some Evidence from Malaysian Audit of Contemporary Accounting & Economics, 72, 82-98. Bushman, R. M., & Piotroski, J. D. 2006. Financial reporting incentives for conservative accounting The influence of legal and political institutions. Journal of Accounting and Economics, 421-2, 107-148. Cheung, K., Lee, F., & Ip, R. 2003. Enhancing eī¦government in developing countries managing knowledge through virtual communities. The Electronic Journal of Information Systems in Developing Countries, 141, 1-20. Chaney, Faccio, M., Parsley, 2008. The quality of accounting information in politically connected firms. Unpublished working paper. Vanderbilt University. Chaney, Faccio, M., and Parsley, D. 2010. The Quality of Accounting Information In Politically Connected Firms. AFA 2010 Atlanta Meetings Paper. Available at http//papers. Diakses 10 May 2015. Fan, Wong, Zhang, T., 2007. Politically connected CEOs, corporate governance and Post-IPO performance of Chinaās newly partially privatized firms. Journal of Financial Economics 84, 330-357. Fisman, R. 2001. Estimating the value of political connections. American economic review, 914, 1095-1102. p-ISSN 2301-4075 e-ISSN XXXX- XXXX JURNAL AKUNTANSI, Vol. 8, No. 1, April 2019 12 Haruman, T. 2008. Pengaruh Struktur Kepemilikan Terhadap Keputusan Keuangan dan Nilai Perusahaan Survey pada Perusahaan Manufaktur di PT. Bursa Efek Indonesia. Herawati, Vinola. 2008. Peran Praktek Corporate Governance sebagai Moderating Variabel dari Pengukuran Earnings Management terhadap Nilai Perusahaan. SNA XI, Pontianak Islahudin, R. N. 2008. Pengaruh Corporate Social Responsibility Terhadap Nilai Perusahaan Dengan Prosentase Kepemilikan Manajemen Sebagai Variabel Moderating Studi Empiris Pada Perusahann Yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Simposium Nasional Akuntansi XI. Jensen, M. C., &Meckling, W. H. 1976. Theory of the Firm Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure. Journal of Financial Economics, 34, 305-360. La Porta, R., Lopez-De-Silanes, F., and Shleifer, A. 1999. Corporate Ownership Around the World. The Journal of Finance, LIV2, 471- 516. Literature, 251, 121-132. Lev, B. 2003. Corporate Earnings Facts and of Economic Perspectives, 172, 27-50. Pertiwi, T. K., & Pratama, F. M. I. 2012. Pengaruh Kinerja Keuangan Good Corporate Governance Terhadap Nilai Perusahaan Food and Beverage. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, 142, 118-127. Purba, J. H. V. 2004. Pengaruh Proporsi Saham Publik terhadap Kinerja Perusahaan. Jurnal Ilmiah Ranggagading, 42, 109-116. Rahmani, N. 2008. Analisis Efisiensi pada BUMN Privatisasi di Indonesia dengan Pendekatan Fungsi Produksi Cobb-DouglasMaster's thesis. Rejeki, Sri. 2007. āAnalisis Pengaruh Struktur Kepemilikan, Ukuran Perusahaan dan Rasio Perputaran Persediaan Terhadap Pemilihan Metode Persediaan pada Perusahaan Manufaktur Go Public di BEJā. Skripsi Tidak Dipublikasikan, Fakultas Ekonomi, Universitas Semarang. Sofyaningsih, S., & Hardiningsih, P. 2011. Struktur kepemilikan, kebijakan dividen, kebijakan utang dan nilai perusahaan. Dinamika keuangan dan perbankan, 31. Sujoko, dan Ugy Soebiantoro. 2007. Pengaruh Struktur Kepemilikan Saham, Leverage, Faktor intern dan Faktor Ekstern terhadap Nilai Perusahaan. Dalam Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, 9 1 h. 41-48. Wahyudi, U., & Pawestri, H. P. 2006. Implikasi struktur kepemilikan terhadap nilai perusahaan dengan keputusan keuangan sebagai variabel intervening. Simposium Nasional Akuntansi, 9, 1-25. Wiagustini, N. L. P., & Pertamawati, N. P. 2015. Pengaruh risiko bisnis dan ukuran perusahaan terhadap struktur modal dan nilai perusahaan pada perusahaan farmasi di bursa efek Indonesia. Jurnal Manajemen, 92, 1-1. Networked The Influence of Social Networking Sites on Political Attitudes and Behavior. Social Science Computer Review, 281, 75-92. Jackowicz, Krzysztof & KozÅowski, Åukasz & Mielcarz, PaweÅ, 2014. "Political connections and operational performance of non-financial firms New evidence from Poland," Emerging Markets Review, Elsevier, vol. 20C, pages 109-135 Wati, L. N., Rachmat Sudarsono, S. E., Si, M., & Erie Febrian, S. E. 2016. Corporate Governance On Conglomerates Pollitically Connected. International Journal of Business, Economics and Law, 101, 23-31. Wati, Rachmat Sudarsono, Si, M. and Erie Febrian, 2016a. Corporate governance on conglomerates politically connected. International Journal of Business, Economics and Law, 101, Wati, L. N. 2017. Board of commissionerās effectiveness on politically connected conglomerates Evidence from Indonesia. Pertanika Journal Social Sciences & Humanities, 25S, pp. 255-270. ... Phie & Suwandi 2020 berpendapat bahwa setiap perusahaan akan berusaha semaksimal mungkin dalam menjalankan kegiatan bisnisnya untuk meningkatkan nilai perusahaan. Salah satu faktor yang mungkin mempengaruhi nilai perusahaan adalah koneksi politik Maulana & Wati, 2020. Banyak pelaku bisnis menjalin relasi atau koneksi politik dengan pemangku kepentingan, untuk mengamankan dan memudahkan akses bisnis Chaney et al., 2009;Nys et al., 2015;Trinugroho, 2017;dan Hidayati & Diyanty, 2018 Kedekatan antara pelaku bisnis dengan pemerintah merupakan hal wajar yang terjadi di Indonesia mulai dari masa kepemimpinan Presiden Soeharto hingga masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo. ...... Koneksi politik juga dapat meningkatkan prospek pertumbuhan dan kelangsungan hidup perusahaan Du & Girma, 2010. Banyak penelitian di Indonesia yang membuktikan bahwa koneksi politik bermanfaat bagi perusahaan Haryati et al., 2018;Maulana & Wati, 2020;Patriani, 2020. ...... Sehingga dengan adanya koneksi politik dapat meningkatkan nilai perusahaan. Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Do et al 2015; Faccio 2006; Maulana & Wati 2020; Patriani 2020. ...Yeterina Widi NugrahantiIndriyani NurfitriThis study aims to examine the effect of political relations on firm value with corporate governance mechanisms as a moderating variable. This study uses a sample of manufacturing companies listed on the Indonesia Stock Exchange IDX. Using the purposive sampling method with a sample of 158 companies during the 2018-2020 period. Data were analyzed by panel data regression for hypothesis testing. The results of this study indicate that political connections have a positive effect on firm value. The corporate governance mechanism in the form of managerial ownership and the size of the board of commissioners is proven to be able to moderate the influence of political connections on firm value, but independent boards of commissioners are proven unable to moderate the influence of political connections on firm value. This implies that companies need to optimize their political connections to increase the value of the company. This study also finds that the corporate governance mechanism in the form of managerial ownership and the size of the board of commissioners weakens the positive influence of political relations on firm Research on the effect of political connections on firm value is also documented by Goldman et al., 2009;Wong, 2010;Ang et al., 2013;Do et al., 2015;Wati et al., 2016b;Wati, 2017;Maulana and Wati, 2019 which show that political connections have a positive effect on firm value. In addition to the various benefits obtained by politically connected companies as mentioned above, political connections have a negative impact on the company, namely high leverage followed by overinvestment, lower stock prices, and stock returns, decreased company performance, and low quality of corporate financial statements Chaney et al., 2011;Wu et al., 2012;Wati et al., 2020. ...... Do et al. 2015 who examined the effect of political connections on firm value in the governor election showed that companies with connections to governors could increase firm value to Wong's research results, 2010;Do et al., 2015;Ang et al., 2013;Wati et al., 2016b;Wati, 2017;Maulana and Wati, 2019 show that political connections have a significant positive effect on firm value. Based on the theory supported by previous research, the first research hypothesis is made H1 = Political connection has a positive effect on firm value. ...... The results of this study support the theory of political connections put forward by North 1990 and Olson 1993, where companies with political connections will receive benefits such as contracts or profitable subsidies that have an impact on increasing firm value. The results of this study are also consistent with previous researchers Goldman et al., 2009;Wong, 2010;Do et al., 2012;Ang et al., 2013;Wati et al., 2016b, Wati 2017, and Maulana & Wati 2019 which show that political connections have a significant positive effect on firm value. ...MomonLela Nurlaela WatiSutarIn the face of business competition, a company strategy is needed by seeking and exploiting opportunities in the business environment, one of which is through political connections. Ownership structure plays an essential role in the company to determine the firm performance. The high concentration of family ownership has the power to reduce agency conflicts between management and stakeholders in a company. Concentrated ownership can serve as corporate governance mechanism for better and effective monitoring of management. This study was conducted to determine empirical evidence of the effect of political connections and family ownership structure on firm value. The sample in this study was 390 data of the manufacturing company. The data analysis used is moderating regression analysis. The results of this study are a positive influence of political connections and family ownership structure on firm value. The results showed that the more the company had a strong political connection and was controlled by the family, the more the firm value would increase. The interaction of political connections can strengthen the influence of family ownership on firm value. It proves that the family ownership structure plays a role in determining political connections in Indonesia, especially in manufacturing companies. The existence of empirical evidence that shows that the firm value controlled by a politically connected family is higher than companies that are not connected politically, which implies investors to invest in companies that are politically connected and companies controlled by families with majority ownership because it is proven to increase firm value.... This means that companies that have political connections are considered by investors to have advantages that can be used as a way to increase stock prices. Similar research was conducted by Maulana & Wati 2019, that political connections have an influence on firm value. This shows that companies that have political connections allow them to have better performance than other companies, such as can provide a competitive advantage for companies such as better access, easy funding for loans, dan lower tax rates. ...Mellia Fitriana Imam MuslimThis study aims to determine how the influence of good corporate governance and political connections on firm value. To Answer our reserach question, we use 342 observations from manufacturing companies listed on the Indonesian Stock Exchange and multiple regression method. The results of this study indicate that simultaneously good corporate governance and political connection have a significant effect on firm value with a significance level of 0,05. Partially, good corporate governance as proxied by institutional ownership has no effect on firm value. Independent Commissioner has a significant effect on firm value. The Audit Committee has no effect on the value of the company. Partially, Political Connections has no effect on the value of the company. Partially, firm size has no effect on firm value. And partially ROA has an effect on firm value with a significance level of 0,05.... Meanwhile, research related to the political connection variable has been conducted by Tehupuring & Rossa, 2016 which states that the political connection variable harms tax avoidance. Meanwhile, according to Maulana & Wati, 2020 The political connection variable has a significant positive impact on business value, according to the some of these studies give different results, there are inconsistent research results that have not provided actual results when associated with the Covid-19 pandemic situation and there is still a lack of literature that examines the variables of political connections and thin capitalization on tax avoidance. So this makes the author interested in conducting a research entitled " Political Connections and Thin Capitalization on Tax Avoidance During The Covid-19 Pandemic". ...Melinia IstiqfarositaFadlil AbdaniTaxes are Indonesia's primary source of revenue and play a major role in promoting economic progress. The Covid-19 epidemic is thought to be capable of motivating tax avoidance. Political connections and thin capitalization tend to be associated with tax avoidance practices. The purpose of this study is to measure the effect of political connections and thin capitalization on tax evasion. The sample used is a company registered on IDX 80 in 2020 and obtained as many as 48 companies using the purposive sampling technique as sampling technique. Multiple linear regression analysis was used in this study as an analytical technique using SPSS statistical software. According to the findings of this study, variabel in political connection have a significant impact on tax avoidance, whereas thin capitalization has a negative and insignificant impact. Keywords Tax Avoidance; Political Connection; Thin Capitalization.... Sari & Somoprawiro, 2020. Perusahaan disebut terkoneksi politik apabila minimal salah satu dewan komisaris memiliki jabatan atau pernah menjabat sebagai anggota pemerintah negara yaitu lembaga eksekutif, lembaga legislatif, lembaga yudikatif, ataupun lembaga yang diperlukan dalam tatanan negara Maulana & Wati, 2019. Perusahaan berkoneksi politik dengan cara-cara tertentu, seperti menjalin kedekatan dengan politisi. ...Kurnia ImanuellaTheresia Woro DamayantiPendapatan negara terbesar bersumber dari penerimaan pajak, akan tetapi seringkali penerimaan pajak belum diterima dengan maksimal, salah satunya karena adanya tax avoidance. Ada beberapa alasan perusahaan melakukan tax avoidance, diduga karena adanya koneksi politik dalam perusahaan menjadi salah satu penyebabnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh tingkat koneksi politik terhadap tax avoidance. Data yang digunakan merupakan data sekunder yang diambil dari laporan keuangan perusahaan manufaktur yang terdapat di BEI tahun 2015-2019. Data sampel yang memenuhi kriteria sejumlah 376 laporan keuangan, diolah menggunakan uji regresi data panel menggunakan eviews. Hasil dari penelitian menjelaskan bahwa tingkat koneksi politik mempengaruhi tax avoidance, dengan kata lain semakin tinggi koneksi politik, maka semakin tinggi pula tingkat tax Sony ErstiwanYosef RichoLatar Belakang Internet pada kondisi Covid-19 saat ini dimanfaatkan oleh penduduk yang ada di Indonesia dan digunakan pada aktivitas dirumah Work From Home. Pandemi mengajak dan mengharuskan kita beralih pada pemanfaatan teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan Tujuan dan manfaat terkait dengan bagaimana aktivitas CSR berdasarkan perspektif prinsip akuntansi. Tanggungjawab sosial yang dilakukan agency kepada masyarakat berawal dari pertanggungjawaban keuangan berdasarkan prinsip transparansi, kewajaran serta kepatuhan dan aturan yang berlaku. Metode Metode yang digunakan menggunakan data sekunder yang berasal dari BEI, yang tertuju pada bidang telekomunikasi khususnya XL-Axiata dan tahun yang mendasari data adalah 2016-2020. Hasil Hasil yang dicapai yaitu pada perolehan pendapatan pada tahun 2018 mencapai hasil yang kurang menguntungkan yang berarti masih perlu upaya lebih peningkatan pendapatan yaitu dengan branding, dengan terus melakukan pengulangan pada produk yang dimiliki. Kesimpulan Kegiatan CSR pada pelaporannya mengikuti pedoman GRI yang disampaikan secara berkelanjutan pada periode berjalan. Saran penelitian yang dilakukan dikemudian hari yaitu memanfaatkan bobot CSR dan implementasi good corporate governance GCG.This study aims to examine the impact of family ownership on the composition of the board of directors and the number of family-affiliated directors. In addition, it analyzes how it affects corporate governance. Big capital and middle capital companies among the top 50 IICD Indonesia Institute for Corporate Directorship awards issuers from 2017 to 2019 make up the study population. The sample consists of 57 middle capital companies and 72 big capital companies. The link between the variables is examined using multiple linear regression. Both the partial coefficient test and the model accuracy test were performed. First, the study findings indicate that family-owned businesses have a higher proportion of family-affiliated board members and commissioners on their boards in big capital and middle capital companies. Second, while family ownership has a favorable impact on middle capital companies, it has a negative and significant impact on the application of corporate governance in big capital firms. Third, since big capital companies exhibit different signals than middle capital companies, it can be inferred that the number of directors and commissioners who are members of the same family affects the adoption of good governance practices and, consequently, the development of sound policies to deal with challenging issues that may arise within a company. This study is innovative in that it divides the sample into big capital and middle capital document that the quality of earnings reported by politically connected firms is significantly poorer than that of similar non-connected companies. Our results are not due to firms with ex-ante poor earnings quality establishing connections more often. Instead, our results suggest that, because of a lesser need to respond to market pressures to increase the quality of information, connected companies can afford disclosing lower quality accounting information. In particular, lower quality reported earnings is associated with a higher cost of debt only for the non-politically connected firms in the Kartika PertiwiFerry Madi Ika PratamaThe purpose of this study was to analyze financial performance as measured by Return on Assets ROA on firm value as measured by Tobin's Q as well as to analyze the Good Corporate Governance as a moderating variable. The research objects were food and beverage firms. The technique analysis was multiple linear regression analysis. The results showed that financial performance was influenced on the value of firms, while the Good Corporate Governance was not a moderating variable of the relationship between the financial performance and the firm study examines whether political connection to firms affects the association between audit committee independence and demand for higher quality audits. In line with Carcello et al. 2002, our findings show that there is a positive association between audit committee independence and audit fees thus supporting the hypothesis that more independent audit committees demand higher audit quality. However, we find that this relationship is weaker for politically connected PCON firms suggesting that the independence of audit committees in Malaysian PCON firms may be compromised. Additionally, we provide evidence that PCON firms that have CEO duality are perceived by audit firms as being of higher risk than CEO duality firms without political article reviews the role of virtual communities as a knowledge management mechanism to support e- government in developing countries. It explores the need for knowledge management in e-government, identifies knowledge management technologies, and highlights the challenges for developing countries in the implementation of e- government and especially knowledge management solutions. It further assesses the feasibility of this and other knowledge management mechanisms in light of the financial and technological limitations of developing countries. The article suggests that knowledge management is needed to facilitate information exchange and transaction processing with citizens, as well as to enable inter-government knowledge sharing and integration. It concludes that simple knowledge management solutions, and especially virtual communities, will be the most appropriate for developing countries, while enterprise solutions are not main objective of the study is to examine the impact of ownership structure%2C leverage%2C external factor%2C internal factor on the value of the firms in Jakarta Stock Exchange. It is argued that unlike the agency problem advanced stock market%2C the agency problem in the Jakarta Stock Exchange is the divergence of interest between the minority holders and majority holders. This is because the Jakarta Stock Exchange is characterized%2C among other things%2C by the domination of large shareholders. It is hypotheses that 1 there are the impact ownership structure %2C external factor%2C internal factor%2C on leverage%2C 2 there are the impact of ownership structure %2C external factor%2C internal factor%2C leverage on value of the firm . This study is to examine Agency Theory%2C Jensen and Meckling 1976%2C Pecking Order Theory%2C Myers 1984%2C Trade Off Model and Signaling Theory 1979. Population in this study are public company listed in Jakarta Stock Exchange during 2000 Ā 2004. As much as 134 firms listed in Jakarta Stock Exchange were taken as a sample using a purposive sampling data were then analyzed by the structural equation modeling SEM analysis%2C using the AMOS Program version results of this study show that 1 there are the impact of ownership structure %2C external factor%2C internal factor on leverage%2C2there are the impact of ownership structure%2C external factor%2C internal factor%2C leverage%2C on valueof the firm . The result of the study is not support the Agency Theory%2C Jensen and Meckling 1976%2C but the result of the study is support Pecking Order Theory%2C Myers 1984%2C Trade off model and Signaling Theory%2C Battacharya 1979. Abstract in Bahasa Indonesia Tujuan utama dari studi ini adalah untuk menguji pengaruh struktur kepemilikan%2C leverage%2C faktor ekstern%2C dan faktor intern terhadap nilai perusahaan di Bursa Efek Jakarta. Tidak seperti pada permasalahan keagenan di pasar modal yang sudah maju%2C problem keagenan di Bursa Efek Jakarta adalah terjadinya perbedaan kepentingan antara pemilik minoritas dengan pemilik mayoritas. Hipotesis dalam penelitian ini adalah 1 struktur kepemilikan%2C faktor ekstern%2C dan faktor intern berpengaruh signifikan terhadap leverage%2C 2 struktur kepemilikan%2C faktor ekstern%2C faktor intern dan leverage berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan. Studi ini ingin menguji teori keagenan%2C Jensen dan Meckling 1976%2C Pecking Order Theory%2C Myers 1984%2C Trade off model dan Signaling Theory%2C Bhattacharya 1979. Populasi dalam studi ini adalah perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Sebanyak 134 perusahaan diambil sebagai sample dengan enggunakan purposive sampling. Data dianalisis dengan mengunakan Structural Equation Modelling. Hasil studi ini menunjukkan bahwa struktur kepemilikan%2C faktor intern dan faktor ekstern berpengaruh signifikan terhadap leverage. Struktur kepemilikan%2C faktor ekstern%2C faktor intern%2Cdan leverage berpengaruh signifikan terhadap nilai studi ini tidak mendukung teori keagenan%2C Jensen dan Meckling 1976 tetapi hasil studi ini mendukung Pecking Order Theory%2C Myers 1984%2C Trade off model dan Signaling theory%2C Bhattacarya 1979. TobinsĀQ%2C leverage%2C ownership present data on ownership structures of large corporations in 27 wealthy economies, making an effort to identify ultimate controlling shareholders of these firms. We find that, except in economies with very good shareholder protection, relatively few of these firms are widely-held, in contrast to the Berle and Means image of ownership of the modern corporation. Rather, these firms are typically controlled by families or the State. Equity control by financial institutions or other widely-held corporations is less common. Baruch LevManipulated earnings played a central role in the slew of corporate scandals which surfaced during the last three years. This article focuses on the vulnerability of earnings to manipulation by managers it surveys the empirical record of manipulation, their major objectives, and the means of manipulation. It then focuses on the major source of earnings manipulation-the multitude of estimates and subjective judgments underlying the comutation of earnings. The article accordingly concludes with a proposal to curb manipulation by requiring managers to routinely compare key estimates with ex post realizations, and revise earnings in case of large multinational companies pay enormous money for making and auditing their accounting reports according to the different national regulations. For these multinational companies the aspects of maximizing the profit is significantly more important than the aspects of national interest or the geographical position. Because of this there is a demand for creating such accounting systems which are evaluating the holderās economic results equally. Meanwhile the interpretation and adaptation of the financial information based on the different accounting methods are also expensive for the users of these reports. Therefore an authentic and standardized international account reporting system could form that business language, which would allow the comparison of the accounting information of each country. According to the business practice it is obvious that the usage of international accounting principles leads to a reduction of the information asymmetry between the owners and the managers. Previous international accounting references shown that because of this information asymmetry payment of the managers decreased, while the cost of equities rose and the economical and financial forecasts are less J. BarclayClifford G. HoldernessThe authors identify negotiated trades of large-percentage blocks of stock as corporate control transactions. When a block trades and the firm is not fully acquired, cumulative abnormal returns average percent and 33 percent of the chief executives are replaced within a year. Stock-price increases are larger when control passes to the new blockholder, when management does not resist the blockholder's effort to influence corporate policy, and when the block purchaser eventually fully acquires the firm. These findings suggest that the specific skills and expertise of blockholders, and not just the concentration of ownership, are important determinants of firm value. Copyright 1991 by American Finance Association.
Institutional politics is a concept to describe how power and authority of actors within an organization fosters an intertwined situation between the parties involved so that an emerging "institution" a particular pattern of behavior that is stable, repetitive and purposeful will appear or destroyed. The development, implementation, acceptance, as well as endurance of āSistem Penerimaan Negara secara Elektronikā SPNsE, IT based state revenue administration system as an institution obviously cannot be segregated from such complex interplay. Lessons learned from the implementation of the SPNsE is that an organization government body could take advantage of institutional and political aspects and then utilized them as a driver to achieve organizational study deployed interpretive policy analysis as data analysis techniques by utilizing various source of secondary data in the form of system documentation in broad sense such as legal provisions, system manual operation, and as well as memorandum of cooperation agreements between parties involved in the system development and implementation. This research concludes an in-depth understanding of the research problem, that is, the institutional politics aspects in the implementation of SPNsE intertwined with 1 particular institutional control that serves as accelerators on the creation of a new institution; 2 the organizational actors that capable of using institutional-agency to expand certain functions of the system; 3 the dominant discourse in affecting agents to create, transform or eliminate an institution; 4 some difficulties on how an institutional agency is reaching out other institutions that are beyond the power of such actors. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free JURNAL BPPK ISSN 2085-3785 Volume 8 Nomor 2, 2015, halaman 141-262 Jurnal BPPK merupakan publikasi ilmiah yang berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian, pengembangan, kajian, dan pemikiran di bidang ekonomi dan keuangan negara. Terbit pertama kali tahun 2010 dengan masa terbit sekali setahun kemudian menambah masa terbit pada tahun 2011 diterbitkan dua kali setahun hingga saat ini, pada bulan Juni dan Desember. Artikel yang diterbitkan dalam Jurnal BPPK telah melalui proses evaluasi dan penyuntingan oleh Dewan Redaksi, Mitra Bestari dan Anggota Staf Editorial. Jurnal BPPK terbuka untuk umum, praktisi, peneliti, pegawai, dan pemerhati masalah ekonomi dan keuangan negara. STAF EDITORIAL Penanggung Jawab Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Ketua Dewan Redaksi Sekretaris Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Dewan Redaksi Prof. Heru Subiyantoro, Dr. Roberto Akyuwen, Yoopi Abimanyu, Mitra Bestari . Prof. Dr . Abdul Halim, Akt. Dr. Akhmad Makhfatih, Dr. Artidiatun Adji, M,Ec Dr. Mamduh Mahmadah Hanafi, Prof. Ir. Noer Azam Achsani. Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, Dr. Ir. Tanti Novianti, Zaafri Ananto Husodo, Redaktur Rahmadi Murwanto, Ak., MAcc., Editor Ahli Muh Nurkhamid Editor Pelaksana Adhitya Wira Witantra Nur Etaruni VMI Bimo Adi Sekretariat ALAMAT SEKRETARIAT JURNAL BPPK Bagian Organisasi dan Tata Laksana, Sekretariat Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia Gedung B Soegito Sastromidjojo, Lantai 4, Jl. Purnawarman Nomor 99 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110; Telp. 021 7394666 7204131; Faksimili 021 7261775,7244328; webpage e-mail jurnalbppk Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 JURNAL BPPK Volume 8, Nomor 2, 2015 DAFTAR ISI ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KUALITAS AUDIT KEPABEANAN Toton Hartanto DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA EKONOMI DAERAH FISCAL AND MONETARY POLICY INTERACTION IN INDONESIA A VAR ANALYSIS FROM 2000 TO 2013 Eko Sumando PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH DAN INVESTASI SWASTA TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA TENGAH PENDEKATAN REGRESI DATA PANEL Andjar Prasetyo POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK PENGENDALIAN KUALITAS BIDANG PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Studi Kasus Diklat Perencanaan dan Penganggaran bagi Kasubbag Umum Renny Sukmono THE ENDOGENEITY OF OIL PRICE SHOCKS AND THEIR EFFECTS ON INDONESIA A STRUCTURAL VECTOR AUTOREGRESSION MODEL Alfan Mansur Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015, Halaman 213-228BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Balai Diklat Keuangan Malang, Indonesia, Email agungdarono Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis, tidak berkaitan dengan pendapat atau kebijakan institusi penulis berafiliasi Diterima Pertama 29 September 2015 Dinyatakan Dapat Dimuat 23 Desember 2015 Institutional politics is a concept to describe how power and authority of actors within an organization fosters an intertwined situation between the parties involved so that an emerging "institution" a particular pattern of behavior that is stable, repetitive and purposeful will appear or destroyed. The development, implementation, acceptance, as well as endurance of āSistem Penerimaan Negara secara Elektronikā SPNsE, IT based state revenue administration system as an institution obviously cannot be segregated from such complex interplay. Lessons learned from the implementation of the SPNsE is that an organization government body could take advantage of institutional and political aspects and then utilized them as a driver to achieve organizational study deployed interpretive policy analysis as data analysis techniques by utilizing various source of secondary data in the form of system documentation in broad sense such as legal provisions, system manual operation, and as well as memorandum of cooperation agreements between parties involved in the system development and implementation. This research concludes an in-depth understanding of the research problem, that is, the institutional politics aspects in the implementation of SPNsE intertwined with 1 particular institutional control that serves as accelerators on the creation of a new institution; 2 the organizational actors that capable of using institutional-agency to expand certain functions of the system; 3 the dominant discourse in affecting agents to create, transform or eliminate an institution; 4 some difficulties on how an institutional agency is reaching out other institutions that are beyond the power of such actors. Politik-institusional merupakan sebuah konsep untuk menggambarkan bagaimana kuasa-dan-wewenang aktor dalam organisasi menumbuhkan situasi saling-pengaruh interplay sehingga daripadanya suatu āinstitusiā yaitu sebuah pola perilaku tertentu yang stabil, berulang dan mempunyai tujuan akan muncul atau hilang. Pengembangan, implementasi, keberterimaan, dan juga ketahanan Sistem Penerimaan Negara secara Elektronik SPNsE sebagai sebuah institusi juga tidak lepas dari proses saling pengaruh tersebut. Penelitian ini menggunakan teknik interpretive policy analysis dengan memanfaatkan berbagai data sekunder berupa dokumentasi sistem dalam pengertian yang luas, dalam bentuk ketentuan hukum, manual operasi sistem, dan juga nota kesepakatan kerja sama antar berbagai pihak yang terlibat dalam pengembangan dan implementasi sistem. Pelajaran yang diperoleh dari implementasi SPNsE ini adalah bagaimana organisasi pemerintahan dapat memanfaatkan aspek politik-institutional ini dan kemudian menjadikannya sebagai pendorong pencapaian tujuan organisasi. Kesimpulan penelitian ini berupa pemahaman mendalam atas masalah penelitian, yakni bahwa aspek politik-institusional dalam implementasi SPNsE berkelindan dengan 1 kontrol-institusional sebagai akselerator munculnya sebagai institusi baru; 2 aktor organisasi dapat menggunakan keagenan-institusional untuk memperluas fungsi institusi; 3 wacana-dominan memengaruhi aktor untuk membuat, mentransformasikan ataupun menghilangkan sebuah institusi; 4 sulitnya keagenan-institusional menjangkau institusi yang berada di luar jangkauankuasa sang aktor. agensi institusi kontrol penerimaan negara resistensi 1. PENDAHULUAN Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara sesuai dengan Pasal 7 ayat 2 huruf d Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara berwenang menetapkan sistem penerimaan dan pengeluaran kas negara. Untuk melaksanakan ketentuan ini, Menteri Keuangan telah menerbitkan beberapa peraturan, terakhir adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/ tentang Sistem Penerimaan Negara Secara Elektronik selanjutnya PMK-32. Penerbitan PMK-32 ini merupakan bagian dari serangkaian ketentuan yang telah keluar sebelumnya secara bertahap untuk melengkapi POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 pelbagai ketentuan tentang sistem penerimaan dan pengeluaran kas negara. Dari sudut pandang bagaimana alur sebuah sistem direncanakan hingga diimplementasikan lihat misalnya McLeod dan Schell 2001, terdapat sebuah gejala yang menarik untuk ditelaah lebih lanjut terkait dengan keberadaan sistem penerimaan negera ini. Telaah yang diharapkan dapat digunakan untuk memahami bagaimana implementasi sebuah sistem informasi di sektor pemerintahan berlangsung dengan sukses. Salah satu dokumen penting yang menandai tahapan pengembangan dan implementasi sistem tersebut adalah adanya surat yang ditandatangani oleh Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia tertanggal 16 September 2003 kepada International Monetary Fund IMF. Surat ini merupakan tindak lanjut dari perjanjian pemberian bantuan keuangan untuk mengatasi krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 IMF, 2003. Surat tersebut antara lain menyatakan bahwa ā⦠By June 2003, the electronic tax filing and payment system will be expanded to process 75 percent of DGT tax collections⦠ā. Atas pernyataan dalam surat tersebut kemudian Menteri Keuangan mengambil tindakan, yang antara lain adalah mengeluarkan beberapa peraturan untuk; 1 mengubah persyaratan penunjukkan sebuah bank atau tempat lain yang dapat menjadi tempat pembayaran ke kas negara antara lain adalah bank ataupun kantor pos yang mampu melakukan komunikasi data dengan pihak otoritas perbendaharaan Menteri Keuangan Direktur Jenderal Perbendaharaan melalui standar tertentu; 2 mengatur mekanisme pengesahan penerimaan negara melalui bank persepsi dengan sebuah sistem-aplikasi yang disebut dengan Modul Penerimaan Negara MPN Darono, 2011; 2013b. Berbagai ketentuan yang berkaitan ini secara bertahap terus diperbaiki hingga terbitnya peraturan tentang Sistem Penerimaan Negara secara Elektronik/SPNsE lihat Tabel 1 untuk perkembangan keberadaan sistem ini. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa SPNsE ini telah dirilis dan berjalan dengan nama yang dikenal secara populer sebagai āMPN-G2ā DJPb, 2014; DJPb, tanpa tahun. Pada tahap ini perubahan signifikan yang terjadi adalah adanya fasilitas kode billing yang digunakan sebagai sarana berbagai jenis setoran penerimaan negara pajak, bea masuk, cukai ataupun Penerimaan Negara Bukan Pajak/PNBP sehingga selain secara konvensioal melalui teller pembayaran/penyetoran dapat dilakukan melalui ATM, internet banking ataupun Electronic Data Capture EDC . Sistem yang dikembangkan tersebut secara teknologi dapat dikatakan menjadi tonggak sejarah penting pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi TIK dalam sistem informasi manajemen keuangan negara di Indonesia. Kesimpulan demikian ini dapat diajukan setidaknya karena SPNsE ini sejak wal pengembangannya 1 mulai melibatkan pertukaran informasi antar berbagai entitas penyedian informasi secara online dan real-time; 2 pertukaran informasi tersebut bersifat transaksional, bukan lagi āsekedarā brosur sebagaimana disinggung oleh Bank Dunia 2002. Bahkan SPNsE merupakan ini sistem bersifat kritikal dan sensitif karena berkenaan dengan nilai uang dalam jumlah besar dan sekaligus jumlah penggunanya yang massif. Dalam pandangan penulis, dinamika yang berkaitan dengan pengembangan dan implementasi SPNsE tersebut akan menarik jika dipandang dengan menggunakan lensa sosio-teknikal dalam ranah kajian kebijakan publik, khususnya keuangan itu, penelitian ini bertujuan memberikan pemahaman terutama aspek sosio-teknikal atau lebih tepatnya politik-institusional atas proses pengembangan dan implementasi SPNsE ini. Artinya, penjelasan dan analisis yang disajikan penelitian ini lebih menekankan pada aspek non-teknikalnya. Pemahaman atas aspek sosial dalam hal ini terutama aspek politik-institusional, diharapkan semakin melengkapi pelbagai penjelasan atau kajian atas isu yang sifatnya teknis-teknologikal. Penelitian ini mencoba berkontribusi baik untuk kajian keuangan negara ataupun pemanfaatan teknologi informasi di sektor pemerintahan. Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini, sebagaimana lazimnya penelitian yang menggunakan paradigma interpretif, adalah pemahaman mendalam mengenai aspek politik-institusional dalam pengembangan dan implementasi sistem informasi berbasis teknologi di sektor pemerintahan. Pemahaman verstehen, lihat misalnya Bungin, 2012 yang nantinya diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan kebijakan ataupun operasional sistem informasi di lingkungan pemerintahan. Mengapa aspek politik-institusional yang dipilih sebagai sudut pandang untuk memahami pengembangan dan implementasi sebuah sistem informasi secara mendalam? Setidaknya terdapat alasan yang cukup kuat, dengan merujuk Lawrence 2008 dan juga Darono 2014;2015. Peneliti pertama menyimpulkan bahwa aspek kuasa power belum dibahas secara eksplisit dalam kajian institusional. Peneliti yang terakhir menyatakan aspek institutisonal dalam pengembangan dan implementasi TIK di sektor publik belum banyak diungkapkan. Kajian institutional sering tidak secara eksplisit mengungkapkan relasi kuasa-politik dengan keberadaan ketidakberadaan sebuah institusi. Mengapa suatu institusi itu ada, bagaimana ia bertahan atau bahkan ia kemudian dihapuskan. Pada sisi yang lain, beberapa penelitian tentang yang membahas kaitan aspek kuasa-politik dalam kaitannya dengan keberadaan dalam organisasi juga belum secara tegas memasukkan aspek institusional ke dalamnya Lawrence, 2008. POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 Terlebih jika situasi di atas diletakkan dalam konteks penelitian pemanfaatan TIK dalam manajemen keuangan negara di Indonesia, masih sangat jarang membahas aspek sosial-teknikal sebagai bagian kerangka analisisnya lihat misalnya Darono, 2012; 2013a; 2013b. Padahal, merujuk Larsen et al. 2014, terdapat cukup banyak alternatif kerangka konsepsual yang dapat digunakan untuk memahami pemanfaatan TIK dalam manajemen keuangan negara sebagai sebuah konstruksi sosio-teknikal. Pada tingkat tertentu, dalam hemat penulis, penggunaan perspektif politik-institusional dalam tulisan ini diharapkan mempunyai kontribusi untuk melengkapi berbagai sudut pandang yang selama ini telah ada baca sudut pandang positivistik ataupun determinisme-teknologi. Perspektif tersebut pada gilirannya diharapkan bermanfaat baik dalam ranah kajian akademis ataupun kebijakan praktis, terutama dalam kaitannya dengan pemanfaatan TIK untuk manajemen keuangan negara di Indonesia. Sistematika penyajian makalah ini adalah bagian pertama menyajikan latar belakang dan tujuan penelitian. Selanjutnya, bagian kedua merupakan tinjauan literatur yang berkaitan dengan politik-institusional sebagai kerangka konsepsual yang digunakan dalam tulisan ini. Bagian ketiga menyajikan uraian tentang SPNsE sebagai konteks kasus yang dibahas. Pada bagian selanjutnya, kelima, makalah ini akan mendisikusikan berbagai temuan penelitian, hikmah lesson learned apa yang dapat dari berbagai temuan penelitian, dan rekomendasi kebijakan. Terakhir, bagian keenam menyajikan kesimpulan 2. SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK KONTEKS KASUS Menteri Keuangan menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 5/ tentang Penunjukkan Bank sebagai Bank Persepsi dalam Rangka Pengelolaan Setoran Penerimaan Negara KMK-5. Keputusan ini kemudian mengalami beberapa kali perubahan. Salah satu perubahan yang mendasar adalah adanya persyaratan yang mewajibkan bank atau kantor pos yang akan mengelola penerimaan negara disebut sebagai Bank Persepsi untuk 1 memiliki jaringan sistem informasi yang terhubung langsung secara online antara kantor pusat dan seluruh atau sebagian kantor cabangnya; 2 kantor pusat bank/kantor pos memiliki jaringan komunikasi data yang dapat dihubungkan secara online dengan jaringan komunikasi data yang dioperasikan oleh Kementerian Keuangan Kemenkeu. Sebagai kelanjutan dari perubahan atas KMK-5, Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/ dan Perubahannya tentang Modul Keuangan Negara MPN sebagai mekanisme teknik yang mengatur bagaimana koneksi data antara Bank Persepsi dengan otoritas perbendaharaan negara untuk pembahasan detil tentang MPN sebagai layanan elektronis lihat misalnya Darono, 2011. Implementasi MPN berlanjut terus dengan segala perkembangan dan dinamikanya sehingga diterbitkannya PMK-32. Gambar 1 menjelaskan alur data dalam SPNsE yang terjadi di antara biller bagian otoritas fiskal yang mempunyai fungsi penerimaan negara, dalam hal ini DJP, DJBC dan DJA dengan collecting agent bank/pos persepsi, dapat berupa teller, internet banking; atau ATM. Pembayaran/penyetoran ke kas negara dapat dilakukan oleh wajib pajak/wajib bayar melalui collecting agent setelah mereka mendapatkan kode billing dari biller. Sebagaimana diulas dalam Darono 2011, MPN yang dikembangkan dengan prinsip-prinsip layanan elektronis e-services sesuai namanya yang āmodularā memang berpeluang untuk diintegrasikan dengan berbagai modul lain, baik dengan layanan elektronis milik otoritas perbendaharaan sendiri misalnya SPAN ataupun milik otoritas penerimaan negara lainnya DJP, DJBC, DJA ataupun kementerian/lembaga yang mengelola PNBP. Hal ini diungkapkan oleh pihak DJP sebagai otorisator PNBP dari berbagai kementerian/lembaga lain yang juga sudah mempunyai sistem informasi yang berkaitan dengan masing-masing jenis PNBP. Integrasi antar aplikasi ini tetap masih berlangsung, sebagaimana diungkapkan bahwa ā... Launching aplikasi SIMPONI-BARANTAN sejatinya merupakan langkah awal dalam melakukan integrasi dengan K/L lainnya. Saat ini beberapa K/L tengah dalam proses pengerjaan integrasi sistem dengan SIMPONI, antara lain BINFAR-Kementerian Kesehatan; AHU, HAKI dan Imigrasi-Kementerian Hukum dan HAM; serta MOMI-Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral. Melalui kerjasama ini, kedepannya diharapkan jumlah PNBP yang diterima menjadi lebih meningkat disertai dengan pelayanan kepada masyarakat yang tetap optimal. ... ā Sumber Gambar 1 Alur Data Antara Biller DJP, DJBC, DJA melalui MPN-G2 sebagai Switch dengan Collecting Agent Bank/Pos Persepsi Sumber diadaptasi dari Masdi 2012 Menteri Keuangan Bendahara Umum Negara/BUN mempersiapkan sistem-aplikasi yang akan dikoneksikan dengan collecting agent dan biller, POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 yang dinamai dengan Modul Penerimaan Negara MPN. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/ dan Perubahannya tentang MPN ini kemudian ditindaklanjuti dengan berbagai ketentuan teknis dan pelaksanaan di bawahnya baik yang terkait dengan otoritas perbendaharaan Direktorat Jenderal Perbendaharaan, penganggaran Direktorat Jenderal /DJA, otoritas kepabeanan dan cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai/DJBC ataupun perpajakan Direktorat Jenderal Pajak/DJP. Ketentuan teknis tersebut antara lain mencakup ketentuan tentang bagaimana otoritas perbendaharaan sebagai Kuasa BUN mengatur MPN itu agar dapat berfungsi sebagai perangkat yang mencatat penerimaan negara secara valid dan reliabel. Salah satu ketentuan yang sangat krusial dalam implementasi MPN adalah bahwa sebuah tempat pembayaran yang mengajukan diri sebagai Bank Persepsi harus menjalani acceptance test dan memenuhi prosedur standar rekonsiliasi antar-pihak yang saling bertukar data. Termasuk di dalamnya juga aturan tentang proses rekonsiliasi data antara pihak yang bertukar informasi Bank Persepsi, otoritas perpajakan dan otoritas pebendaharaan DJPb, tanpa tahun. Dalam tatarannya yang lebih teknis, DJP, DJBC dan DJA sebagai biller masing-masing telah menerbitkan yang mengatur bagaimana mereka berinteraksi dengan collecting agent dan MPN. Perkembangan sistem penerimaan negara ini secara lebih ringkas dapat ditelusuri dari perubahan ketentuan hukum yang mengatur tentang hal ini. Tabel 1 memaparkan timeline pelbagai perubahan ketentuan tersebut. Tabel 1 Timeline Perkembangan Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara KMK Nomor 5/ Penunjukan Bank Sebagai Bank Persepsi dalam rangka Pengelolaan Setoran Penerimaan Negara Belum secara eksplisit menyebutkan keberadaan sistem penerimaan negara secara elektronik KEP-162/PJ/2003 tentang Pelaksanaan Sistem Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak MP3 pada Direktorat Jenderal Pajak Otoritas perpajakan mengambil inisiatif untuk mengembangkan sistem MP3 yang mengoneksikan data antara Bank Persepsi dengan otoritas perpajakan lihat juga Darono, 2011 KMK 210/ 455/ Perubahan terhadap 5/ Untuk menjadi Bank Persepsi, wajib 1 mempunyai jaringan komunikasi data yang mencakup semua kantor bank yang bersangkutan, 2 jaringan ini harus terkoneksi dengan Direktorat Jenderal Pajak DJP dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan; 3 memperoleh rekomendasi dari DJP KMK 536/ 547/ Perubahan terhadap 5/ Bank Persepsi yang belum dapat memenuhi persyaratan sebagaiman disebut dalam Pasal 2 ayat 3 masih dapat menerima setoran penerimaan negara 30 Juni 2003 Memorandum of Economic and Financial Policies dari Pemerintah RI dan BI kepada IMF Pada akhir Juni 2003, pembayaran pajak harus dilakukan dengan menggunakan sistem elektronik PMK 99/ dan Perubahannya Modul Keuangan Negara MPN Untuk melengkapi ketentuan dalam KMK Nomor 5/ dalam hal pengaturan tentang bagaimana sistem penerimaan negara beroperasi. MPN mengintegrasikan beberapa aplikasi pengelolaan keuangan negara yang sebelumnya terpisah MP3 DJP, SISPEN DJA, EDI BJBC PMK 60/ Uji coba Billing Systems melalui MPN Uji coba penambahan fitur MPN yang memperluas cara membayar tagihan pajak tertentu tidak hanya via teller bank namun juga melalui ATM, ataupun internet banking dengan menggunakan Kode Billing PMK 32/ Sistem Penerimaan Negara Secara Elektronik Penerimaan Negara yang diatur dalam Peraturan Menteri ini meliputi seluruh Penerimaan Negara yang disetorkan yang diterima melalui Bank/Pos Persepsi dengan menggunakan Kode Billing. PMK ini tentang SPNsE ini āsecara populerā dikenal sebagai MPN-G2, yaitu MPN dengan beberapa fitur baru lihat Gambar 1 POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 Perdirjen BC PER-07/BC/2014 tentang Pelaksanaan Uji Coba Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara atas Barang Kena Cukai Uji coba tata cara penyetoran berbagai jenis penerimaan yang dikelola oleh DJBC PER-33/BC/2014 tentang Pelaksanaan Uji Coba Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara atas Impor Barang Yang Dibawa Penumpang dan Awak Sarana Pengangkut Dengan menggunakan Kode Billing PER-36/BC/2014 tentang Pelaksanaan Uji Coba Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara Dengan Kode Billing pada Kantor Pelayanan Yang Belum Menerapkan Pertukaran Data Elektronik PDE atas Pelayanan Ekspor PER-38/BC/2014 tentang Pelaksanaan Uji Coba Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara atas Pencacahan/Pemeriksaan Paket Pos PPKP Dengan Menggunakan Kode Billing PER-39/BC/2014 tentang Pelaksanaan Uji Coba Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara atas Pelayanan Impor Dengan Menggunakan Kode Billing. Perdirjen Anggaran Nomor PER-1/AG/2014 tentang Tata Cara Pembayaran/Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Penerimaan Non Anggaran Secara Elektronik. Tata Cara Pembuatan, Perekaman, dan Pembuatan Kode Billing dan Sistem Billing PNBP yang meliputi Billing untuk Migas, SDA Non Migas, BUMN. Dikenal sebagai sistem-aplikasi Simponi-PNBP Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-26/PJ/2014 tentang Sistem Pembayaran Pajak Secara Elektronik Sebagai perluasan PMK-32, transaksi pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan melalui Teller Bank/Pos Persepsi, Anjungan Tunai Mandiri ATM, Internet Banking dan EDC. Atas pembayaran/ penyetoran pajak tersebut Wajib Pajak menerima Bukti Penerimaan Negara BPN sebagai bukti setoran Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-182/PJ/2015 tentang Sistem Pembayaran Pajak Secara Elektronik Sebagai tindak lanjut PER-26/PJ/2014, Dirjen Pajak menunjuk Bank Mandiri, BRI dan BNI untuk menjalankan uji coba pembayaran pajak dengan menggunakan EDC yang secara populer dikenal dengan āMini ATMā Sumber diadaptasi dari Darono 2013b, diolah kembali 3. TINJAUAN LITERATUR Politik Institusional Kuasa, Kontrol, Keagenan dan Resistensi dalam Institusi Kajian institusional berangkat dari kajian-kajian di bidang sosiologi. Emile Durkheim sebagaimana dikutip Sunarto 2004 menyatakan bahwa jika ekonomi adalah studi tentang pasar maka sosiologi studi tentang institusi sosial, selain pasar. Koentjaraningrat 1983 memberikan istilah pranata sebagai padanan institusi untuk membedakannya dengan āinstitutā sebagai padanan ālembagaā. Menurut Koentjaraningrat, pranata adalah perilaku manusia yang berpola teratur. Tulisan ini akan menggunakan istilah institusi lebih karena alasan praktis. Istilah institusi sudah secara luas dan lebih sering digunakan. Pemakaian istilah dan kajian tentang institusi ini kemudian berkembang dan mewarnai berbagai kajian pada disiplin yang lain seperti ekonomi, politik, hukum ataupun studi organisasi. Bahkan kemudian juga studi di bidang TIK bersamaan dengan munculnya kajian informatika sosial lihat misalnya Kling, 1999; Kling, et al., 2005; Darono, 2012. Kajian TIK-institusional merupakan kerangka pemikiran yang dapat memperjelaskan atau memahami TIK sebagai artefak-sosial lihat misalnya Avgerou, 2000; Avgerou, 2004; Ezer, 2005; Currie, 2008. Kajian Kling, et al. 2005 dan juga Kling 1999 dapat dikatakan sebagai āmanifestoā yang menyatakan pentingnya pengungkapkan aspek-aspek sosial, termasuk aspek institusional yang menyertai implementasi TIK sebagai bagian dari sistem sosial yang luas. Luas cakupan disiplin yang menggunakan istilah institusi pada gilirannya juga menjadikan peneliti di bidang ini tidak dapat merumuskan ādefinisi tunggalā tentang institusi itu sendiri. Kajian Cole 2013 mengungkapkan berbagai definisi tentang institusi dari berbagai disiplin, termasuk diskusi tentang apakah organisasi itu aktor atau institusi. Untuk kepentingan praktis, penelitian ini memilih definisi operasional institusi sebagai semua keyakinan dan cara berperilaku yang dibentuk oleh kesepakatan bersama Carls, tanpa tahun. Beberapa peneliti kajian institusional mengajukan perlunya membedakan aktor dengan institusi ini secara tegas karena nantinya akan memengaruhi teknik dan hasil analisis yang akan disajikan Lawrence, 2008;Cole, 2013. Terdapat setidaknya dua sudut pandang yang berbeda mengenai peranan aktor dalam kaitannya dengan institusi ini. Pandangan pertama yang diajukan antara lain oleh Meyer dan Rowan 1977, Scott 2004 ataupun juga Thornton POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 dan Ocasio 2008 yang lebih menekankan pada penting struktur yang melingkupi keberadaan instusi daripada aktor itu sendiri. Pada sisi yang lain, terdapat pandangan yang kedua, misalnya merujuk pada Lawrence 2008 dan Weir 2003 berpandangan sebaliknya, bahwa aktor lebih beperanan dibandingkan dengan struktur dalam keberadaan suatu institusi. Berangkat dari kedua pandangan tersebut, sebagaimana tesis yang diajukan Lawrence 2008, maka penelitian ini akan memilih sudut pandang yang kedua, bahwa aktor mempunyai peran yang lebih besar daripada struktur yang melingkupinya. Tema diskusi yang berkembang sepanjang perjalanan bidang kajian institusional ini menunjukkan bahwa penggunaan proposisi-proposisi institusional dalam disiplin sosiologi-organisasi kemudian memunculkan istilah old- dan juga new- atau neo- institutionalism. Dalam pandangan para penganjur neo-institutsional berpandangan bahwa kajian tentang institusi bukanlah semata-mata menelaah bagaimana institusi sebagai bagian dari sebuah struktur sosial terbentuk dan kemudian menjadi menjadi pendorong-atau-pengekang perilaku sosial bagi para aktor yang terlibat dengannya. Neo-institusional merupakan sebutan untuk himpunan berbagai proposisi yang menyatakan bahwa 1organisasi berada dalam sebuah lingkungan-keorganisasian organizational-field dan karenanya muncul tekanan institusonal institutional pressures; 2 adanya institusional logic sebagai keyakinan, nilai, asumsi, praktik-yang-nyata dan aturan yang secara sosio-historis dikonstruksikan kemudian digunakan oleh setiap individu untuk memreproduksi dalam keseharian mereka, dalam ruang-waktu mereka untuk memaknai realitas sosial mereka; 3 keberadaan akan institutional sebagai tindakan untuk menghilangkan kelambanan dengan mencapai kolaborasi yang berkelanjutan di antara aktor yang bermacam-macam dan tersebar untuk membentuk institusi baru ataupun mengubah yang sudah ada; dan juga 4 adanya institutional arrangementyaitu bagaimana struktur tata kelola dikembangkan Yustika, 2010; Wahid, 2011; Wahid dan Sein, 2013. Berkaitan dengan debat ini, penulis mengajukan sebuah kerangka pemikiran yang mungkin untuk sebagian pakar analisis institusional akan dikatakan sebagaiāterlalu menyederhanakanā lebih menekankan pada apa itu institusi, sebagai sebuah entitas tunggal, sehingga tidak terlalu memperhatikan lingkungan field di mana ia berada. Sementara itu new-institutionalism melengkapi kajian yang telah ada itu dengan bagaimana institusi itu terbentuk dan bertahan. Bukan berarti, old-institutionalism menjadi tidak berlaku lagi dengan adanya new-institutionalism. Penyerderhanaan dengan tujuan praktis, bagaimana kerangka konsepsual ini dapat digunakan dengan mudah dalam konteks penelitian ini. Sebuah kritik terhadap kajian instiutional kemudian muncul dari kalangan cendekiawan yang menekuni bidang ini sendiri. Kritik tersebut berkaitan dengan bagaimana hubungan antara kuasa power dengan institusi terutama dalam hubungannya dengan kekuatan suatu institusi. MerujukScott, 2004 institusi merupakan struktur otoritatif untuk memaksakan aturan/kesepakatan yang dikandungnya kepada lingkungannnya, termasuk berbagai actor -manusia di dalamnya Lawrence 2008. Jika demikian halnya, lalu apakah tidak ada kaitan sama sekali antara politik sebagai cara untuk mendayagunakan kuasa untuk mencapai tujuan dengan keberadaan suatu institusi? Mengapa aspek politik kuasa ini belum jika tidak mau disebut ādiabaikanā dibahas secara detil. Akibatnnya tekanan institusional lihat misalnya DiMaggio dan Powell, 1991 dianggap sebagai sebuah hal yang muncul begitu saja, tanpa harus memperhatikan bagaimana sistem kekuasaan itu bekerja sehingga tekanan itu terbentuk, bertahan ataupun menghilang. Situasi ini dianggap kontradiktif jika dikembalikan pada definisi institusi sebagai sebuah pola aturan perilaku yang dipatuhi dan berdaya tahan lama. Bagaimana mungkin membahas keberadaaan suatu hal yang dipatuhi dan mempunyai daya tahan tanpa membicarakan kuasa dan politik, demikian pandangan Lawrence 2008. Atas oto kritiknya terhadap analisis institusional ini, kemudian Lawrence 2008 mengajukan sebuah kerangka pemikiran yang mencoba menjelaskan hubungan antara politik dengan institusi. Pada dasarnya kerangka pemikiran ini muncul untuk melengkapi beberapa kerangka pemikiran sebelumnya yang terhimpun dalam analisis neo-institutional. Gagasan tentang politik-institusional ini dapat dilihat sebagai upaya untuk memperlengkap kajian neo-institusional yang cenderung menitikberatkan kajiannya pada tekanan dan logika institusional Meyer dan Rowan, 1977;Thornton dan Ocasio, 2008, namun lalai untuk menelaah lebih jauh bagaimana tekanan ataupun logika tersebut berasal. Kajian Lawrence 2008 kemudian menawarkan sebuah kerangka pemikiran yang disebut sebagai politik-institusional institusional politics. Konsep ini menawarkan proposisi bahwa kuasa power merupakan salah satu pembentuk hubungan antara aktor dengan institusi dan hal ini harus secara eksplisit ditelaah keberadaannya. Kerangka pemikiran ini menjelaskan lebih lanjut bahwa politik-institusional terdiri dari tiga aspek yang saling-memengaruhi yakni kontrol-institusional institutional-control, keagenan-institusional institutional-agency, dan resistensi-konstitusional institutional-resistance. Politik-institusional bekerja sebagai pembentuk, pengubah ataupun penghapus institusi baik pada level institusi tunggal maupun antar-institusi organizational-field. Gambar 2 menjelaskan politik-institusional sebagai kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini. Kuasa, Teks, Wacana dan Institusi POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 Bagian ini merupakan upaya penulis untuk membuat kerangka pemikiran politik-institusional yang ditawarkan Lawrence 2008 lebih mudah diaplikasikan untuk memahami keberadaan sebuah institusi sosial dalam hal ini adalah implementsi SPNsE dengan menggunakan teknik interpretive policy anaysis yang pada dasarnya adalah penerapan analisis wacana. Artinya pemahaman akan bagaimana politik-institusional itu ada dan memengaruhi sebuah institusi dalam suatu konteks sosial tertentu dapat dipahami dengan menggunakan pemahaman akan kuasa dan wacana. Dalam konstruksi pemikiran seperti itu maka penulis mengajukan sebuah kerangka analisis berbasis proposisi yang diajukan Phillips, et al.2004 dan Jones 2003 tentang bagaimana hubungan yang dapat terjadi antara kuasa, teks, wacana dan institusi. Kerangka yang dikembangkan inilah yang nantinya akan digunakan untuk menggali dan membahas temuan penelitian. Jones 2003 dengan merujuk teori wacana Foucault, menyatakan bahwa dengan berwacanalah manusia dapat menyatakan dan memahami realitas. Lebih lanjut, diuraikan bahwa jika seseorang ingin memahami situasi sosialpada suatu waktu tertentu, maka ia dapat melakukannya dengan memahami wacana apa yang dominan di lingkungan dan saat tertentu itu. Pada sisi lain Phillips, et al. 2004 dengan terlebih dulu menjelaskan bagaimana teks menjadi wacana, pada akhirnya mengajukan sebuah proposisi yang cukup menantang, bahwa āsemua institusi merupakan produk diskursif, sementara itu tidak semua produk diskursif merupakan institusiā. Jadi secara sederhana dapat digambarkan secara linier bahwa antara wacana teks yang dominan itu mengalami āinstitusionalisasiā. Pertanyaannya adalah apa yang memungkinkan perubahan bentuk teks, wacana dan institusi tersebut? Jawabannya menurut Foucault sebagaimana didukung oleh Jones 2003 adalah kuasa. Untuk itu, sebagaimana telah diungkapkan pada awal bagian ini, pemahaman akan hubungan antara kuasa, teks, wacana dan institusi merupakan prasyarat penting dalam menggunakan konsep politik-institusional untuk menelaah keberadaan dan fungsi suatu institusi. Kerangka Penelitian Riawanti 2015 menyakan kerangka penelitian sebagai pedoman umum tentang bagaimana seorang peneliti mencari jawaban atas masalah penelitian yang diajukannya. Kerangka ini mencakup 1 hal-hal pokok yang akan diteliti, yakni konsep-konsep atau variabel-variabel yang terpenting, serta saling hubungannya satu sama lain; 2 mengungkapkan pemikiran peneliti mengenai apa yang terjadi dengan gejala yang ditelitinya dan/atau apa sebabnya. hipotesis yang umum atau teori sementara sang peneliti. Jika diperlukan, kerangka ini dapat saja menyertakan hipotesis di dalamnya. Namun perlu diingat bahwa hipotesis dalam penelitian kualitatif merupakan pedoman jalannya penelitian, bukan pernyataan yang akan diuji kebenarannya. Artinya, hipotesis dalam penelitian kualitatif dapat dikembangkan selama kurun penelitian, sampai dengan penelitian itu mampu memberikan pemahaman memuaskan tentang gejala/situs/situasi yang sedang diamati. Berdasarkan konteks kasus yang diteliti, tinjauan literatur yang telah dikemukankan beserta uraian tentang kerangka penelitian, maka penelitian ini mengajukan kerangka pemikiran sebagai berikut ini. Kerangka ini jua merupakan penegasan atas tujuan penelitian, bahwa penelitian ini sebagai penelitian sosial kualitatif-interpretif adalah upaya untuk memahami sebuah konstruksi sosial yang berupa aspek politik-institusional dalam implementasi SPNsE. Adapun sumber beserta teknik analisis data yang digunakan akan dijelaskan dalam bagian metode penelitian. Gambar 3 Kerangka Penelitian 4. METODE PENELITIAN Pendekatan penelitian merupakan cara peneliti untuk memilih paradigma, strategi, jenis bukti, dan Sumber datadokumentasi sistem, teknik interpretive police analysis Gambar 2 Politik-Institusional Sebagai Interaksi Antara Institusi dengan Aktor melalui Kontrol-, Resistensi-, dan Keagenan-Institusional Sumber Lawrence, 2008 POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 teknik pengumpulan data penelitian yang sesuai dengan tujuan dan konteks penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan paradigma interpretif. Riset dalam paradigma interpretif mengasumsikan bahwa pengetahuan tentang realitas diperoleh melalui konstruksi sosial seperti bahasa, makna yang disepakati dalam sebuah masyarakat, berbagai dokumen atau artefak lainnya Yin, 1981; Howcroft dan Trauth, 2004; Moleong, 2010; Djamhuri, 2011; Wahyuni, 2012. Riset ini menggunakan metode penelitian studi kasus untuk menyelidiki fenomena empiris berupa implementasi SPNsE sebagai unit analisis yang tidak dapat dilepaskan dari konteks nyata kesehariannya bukan eksperimen dan datanya dianalisis secara kualitatif tidak menggunakan teknik statistika tertentu. Studi kasus memungkinkan peneliti untuk mempertahankan karakteristik holistik dan bermakna dari peristiwa-peristiwa kehidupan nyata Yin, 1981; 2009; 2011. Penelitian ini memenuhi kriteria studi kasus kasus tunggal sebagaimana yang dikemukakan Yin 2009 karena fenomena yang diteliti merupakan hal yang unik dan juga sekaligus sedang dan masih berlangsung. Objek penelitian ini adalah kebijakan publik dalam bentuk implementasi sistem-administrasi pemerintahan berbasis teknologi merupakan sebuah konstruksi sosial yang dapat dimaknai/ditafsirkan oleh para pemangku kepentingannya. Dalam pandangan Walsham 1993;2006, riset interpretif dengan objek sistem informasi bertujuan untuk mendapatkan pemahaman atas konteks sebuah sistem informasi beserta proses yang dipengaruhi dan memengaruhi konteks tersebut. Perlu diperhatikan bahwa oleh para pemangku kepentingan dari sistem yang diteliti adalah agen-manusia yang mempunyai tafsir interpretasi tertentu berdasarkan latar belakang sosial mereka Myers, 1997; Walsham, 2006; Myers dan Klein, 2011. Berkaitan dengan objek penelitiannya, penelitian ini memilih untuk menggunakan interpretive policy analysis IPA sebagai kerangka kerja analisis data untuk membahas data penelitian, menggali temuan penelitian dan menyajikan hasil/temuan. Kerangka analisis data IPA pada dasarnya adalah suatu teknik analisis data kualitatif yang dikembangkan di bawah tradisi analisis wacana discourse analysis Glynos, et al., 2009. IPA dipilih karena pada dasarnya objek penelitan ini implementasi SPNsE adalah sebuah wacana discourse. Istilah wacana digunakan oleh banyak bidang kajian sehingga mempunyai bermacam-macam pengertian. Sosiologi mengartikannya sebagai konteks sosial pemakaian bahasa. Sedangkan menurut kajian bahasa linguistik, wacana adalah satuan bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam bentuk karangan atau laporan utuh, seperti novel, buku, artikel, pidato, atau khotbah Eriyanto, 2011. Sementara itu, psikologi memaknai seperangkat pernyataan yang saling mendukung untuk mengonstruksi sebuah objek Parker, 1992. Pada akhirnya penulis dengan merujuk berbagai pendapat yang telah diuraikan tersebut dan juga Hardy 2001; Berntsen, et al., 2004, Bondarouk dan Ruel 2004 dan Phillips, et al., 2004, mengajukan definisi wacana dalam tulisan ini yakni berbagai teks dalam berbagai bentuknya tertulis atau ujaran, dalam sebuah konteks tertentu yang menyertainya dan dalam letak kesejarahan tertentu. Sebuah teks dapat dipandang āunit diskursifā sebagai manifestasi dari wacana tertentu sehingga menjadikan suatu objek itu ada. Berdasarkan batasan tersebut, kebijakan pengembangan dan implementasi SPNsE dapat dipandang sebagai sebuah wacana yang dapat ditelaah dengan menggunakan kerangka kerja IPA. āPolicy creates politicsā, demikian ungkap Schattschneider dalam Weir 2003. Artinya, kebijakan policy selalu membawa konsekuensi munculnya hal-hal yang bersifat politik kuasa-wewenang untuk menjadikan kebijakan itu terwujud. Lantas bagaimana hubungan antara kebijakan dan politik itu dapat dianalisis lebih lanjut secara kualitatif? Pada prinsipnya kerangka kerja IPA merupakan tindakan analisis terhadap formulasi, pelaksanaan ataupun evaluasi suatu kebijakan dengan cara mendapatkan pemahaman atas konteks dari sebuah kebijakan beserta proses yang menyertasi, dipengaruhi dan memengaruhi konteks tersebut. Yanow dalam Glynos, et al. 2009 menguraikan penggunaan teori wacana Foucault dalam melaksanakan IPA. Teori tersebut sebagaimana yang dijelaskan dalam Jones 2003 mengartikan wacana sebagai cara berpikir dan bertindak yang berbasis pada pengetahuan. Aliran pemikiran ini selanjutnya mengemukakan bahwa untuk memahami perilaku manusia pada suatu tempat dan waktu tertentu, temukanlah terlebih dulu wacana-wacana yang terdapat atau bahkan mendominasi pada tempat dan waktu itu. Dalam kaitan ini, perlu juga diungkapkan beberapa hal penting sebagaimana disampaikan oleh Bondarouk dan Ruel 2004 yang patut diperhatikan oleh peneliti pada saat menggunakan analisis wacana ini sebagai eksplorasi terhadap saling pengaruh antara wacana, teks dan konteks dan bagaimana memilih teks yang membentuk wacana. Selanjutnya ditekanan bahwa, analisis wacana tidak semata-mata memusatkan perhatian pada teks tunggal namun sebagai serangkaian teks dengan tetap memperhatikan batang utama teks itu. Sejalan dengan itu, analisis harus dilakukan juga atas kedudukan dan bagaimana teks itu diproduksi. Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa dokumentasi sistem secara luas Bowen, 2009, baik berupa ketentuan hukum, manual operasi sistem, dan juga kesepakatan kerja sama antar berbagai pihak yang terlibat dalam sistem. Sumber data tersebut akan dilengkapi dengan berbagai rilis ataupun liputan di media massa online/offline. Penulis kemudian dengan akumulasi pengetahuan dan pengalaman yang ada selama ini akan melakukan tindakan interpretif dengan menelaah berbagai dokumen tersebut. Hal ini POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 dilakukan untuk mendapatkan pemahaman atas konteks dan kaitan sosio-historisnya Glynos, et al., 2009; Eriyanto, 2011, dan selanjutnya mengajukan penafsiran dan pemaknaan tertentu atas proses telaah tersebut. 5. TEMUAN DAN DISKUSI Pengantar Penelitian ini menganalisis data sekunder berupa berbagai dokumentasi Bowen, 2009, baik yang berupa peraturan, berbagai laporan dari berbagai otoritas terkait, manual/prosedur standar operasional, ataupun rilis di media massa online/offline yang berkaitan dengan perkembangan impelementasi SPNsE. Analisis terhadap data yang sudah dikumpulkan untuk mendapatkan temuan penelitian dilakukan sesuai dengan urutan langkah penggunaan teknik IPA yang sudah dikemukakan oleh Yanow dalam Glynos, et al. 2009 sebagaimana telah diuraikan pada bagian pendekatan penelitian. Yanow sebagaimana dikutip Glynos et al. 2009 menguraikan secara ringkas langkah-langkah penggunaan teknik IPA dalam suatu penelitian tentang yang mengasumsikan kebijakan publik sebagai sebuah wacana. Urutan langkah tersebut adalah 1 identifikasi semua artefak bahasa, objek, tindakan yang membentuk makna dari kebijakan yang diteliti; 2 identifikasi para pihak yang terkait dengan kebijakan; 3 identifikasi wacana yang relevan, yaitu makna tertentu yang dikomunikasikan melalui artefak yang ada; 4 interpretasi harus dipusatkan pada titik konflik yang terjadi dan dihubungkan dengan dari mana sumber yang menyebabkan perbedaan pemaknaan antar aktor yang terlibat dalam perumusan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan. Bagian berikut akan mendiskusikan temuan penelitian. Diskusi ini dengan menggunakan teknik analisi data IPA menitikberatkan pada bagaimana terjadinya perputaran antara kontrol-, resistensi- dan keagenen-institusional sehingga hubungan timbal balik antara aktor-institusi dapat terbentuk. Penelitian ini menemukan setidaknya empat hal penting yang layak dielaborasi lebih jauh berkaitan bagaimana hubungan antara institusi dengan aktor yang terlibat di dalamnya merupakan hasil dari saling-pengaruh interplay antara kontrol-, resistensi- dan keagenan-institusional. Temuan ini sampai dengan tahap tertentu merupakan konfirmasi terhadap apa yang digagas oleh Lawrence 2008 sebagai institutional politics dengan beberapa catatan. Keempat hal tersebut adalah pertama, bagaimana praktik-praktik diskursif dapat mengubah SPNsE dari wacana menjadi institusi lihat Phillips, et al., 2004. Kedua, bagaimana kontrol-institusional menggunakan kuasa-sistemik mengubah perilaku aktor. Ketiga, tindakan aktor untuk menggunakan pengaruh pengaruh dan tekanan mereka untuk mengubah institusi. Keempat, bagaimana aktor menghadapi resist terhadap adanya kontrol- ataupun keagenan- institusional. Pada akhir bagian ini akan disampaikan refleksi atas temuan penelitian dan juga rekomendasi kebijakan yang mungkin dapat dipertimbangkan stakeholder pengelolaan keuangan negara/daerah dalam kaitannya dengan pengembangan sistem informasi manajemen keuangan. SPNsE sebagai Institusi yang dibentuk Wacana Reformasi politik 1998 juga membawa dampaknya pada reformasi pengelolaan keuangan pemerintah Indonesia Nasution, 2007. Dalam lensa analisis wacana, pemahaman akan perubahan sosial dapat dilihat dari wacana yang dominan pada sistem sosial yang ada Jones, 2003. Menurut hemat penulis salah satu wacana dominan yang berkaitan dengan reformasi administrasi, termasuk di fungsi pengelolaan fiskal adalah isu tentang tata kelola governance dan transformasi kelembagaan. Boediono 2008; 2009 dan juga Sri Mulyani Indrawati Depkeu, 2009 menekankan pentingnya perubahan mendasar pada sisi governance ini sebagai pijakan awal untuk menuju pengelolaan fiskal yang transparan dan akuntabel. Lebih lanjut, Depkeu 2009 mengemukakan penting pengembangan sistem berbasis teknologi informasi dan komunikasi sebagai perangkat pengelolaan keuangan negara yang efisien. Selain tata kelola, wacana dominan yang dikembangkan oleh kementerian ini adalah transformasi kelembagaan. Kemenkeu 2015 menyatakan bahwa proses transformasi mencakup transformasi organisasi dan implementasi inisiatif strategis di seluruh unit eselon I Kementerian Keuangan dan dititikberatkan pada 87 inisiatif strategis untuk lima tema utama transformasi, yaitu sentral meliputi organisasi, SDM dan TIK, dan Manajemen Kinerja, perpajakan, kepabeanan dan cukai; penganggaran; dan perbendaharaan. Jadi teks yang menjadi wacana dominan dalam proses reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan adalah tata kelola dan transformasi kelembagaan. Salah satunya adalah membangun sistem administrasi modern yang berbasis TIK sehingga layanan menjadi efisien, transparan dan akuntabel. Teks ini kemudian menjadi wacana dan institusi melalui pratik diskursif tertentu. MPN bahkan dibangun dengan niatan untuk menjadi tulang punggung reformasi birokrasi ā ... Dengan disokong oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Direktorat Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan, serta Sekretariat Jenderal, MPN menjadi sebuah program Kementerian Keuangan dan menjadi salah satu backbone reformasi birokrasi. ...ā DJPbn, tanpa tahun Tekad untuk menjadi backbone tersebut tentu saja harus didukung dengan strategi implementasi kebijakan yang memadai. Dalam pandangan penulis, termasuk di dalamnya adalah bagaimana mengelola politik-institusional secara bijak. Pada tahapan selanjutnya, kedudukan MPN semakin diperkuat yang secara teknis dinyatakan POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 dalam bentuk penambahan fitur baru seperti billing system dan tersedianya berbagai channel baru pembayaran ke kas negara melalui ATM, EDC , i-banking ataupun m-banking. Situasi yang sedemikian ini, merujuk proposisi yang diajukan Phillips, et al. 2004, menunjukkan bahwa salah satu cara untuk membentuk atau memperkuat institusi adalah bagaimana aktor memilih teks yang akan menjadi wacana dominan dan kemudian melalui praktik diskursif tertentu akan membentuk sebuah institusi. Kontrol-Institusional Institusi dan Kuasa-Sistemik Mengapa otoritas perpajakan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-162/PJ/2003 tentang Pelaksanaan Sistem Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak MP3 pada Direktorat Jenderal Pajak menggunakan istilah āmonitoring pelaporan pembayaranā bukan āpembayaran pajakā? Jawabnya karena harus disadari sebenarnya tugas otoritas perpajakan adalah mengawasi apakah Wajib Pajak sudah melunasi pajaknya dengan menggunakan informasi transaksi penerimaan keuangan negara yang sah dengan bersumber dari otoritas perbendaharaan. Walaupun otoritas perpajakan menginginkan informasi pembayaran yang lebih cepat dan tepat waktu dengan memanfaatkan sistem berbasis TIK namun pada saat itu tidak dapat mengembangkan sistem itu sendiri. Pengembangan sistem pembayaran tersebut adalah wewenang pada sisi otoritas perbendaharaan. Otoritas pajak merupakan pengguna sistem informasi pembayaran elektronik yang dikembangkan oleh otoritas perbendaharaan. Walaupun kedua otoritas ini masih berada di bawah satu kementerian yang sama Menteri Keuangan sebagai otoritas fiskal, namun koordinasi untuk penyediaan informasi pembayaran pajak secara cepat dan andal masih menjadi persoalan yang cukup pelik. Dalam pengembangan sistem MP3, otoritas perpajakan sampai dengan tingkat tertentu mengambil keputusan yang dapat dikatakan melampaui wewenangnya. Atas dasarnya inilah, dalam hemat penulis kemudian sistemnya diidentfikasi dengan āmonitoring pelaporanā, bukan secara tegas menyebut āsistem penerimaan pajakā. Jika politik diartikan sebagai bagaimana mencapai tujuan dengan cara yang memungkinkan, maka situasi ini merupakan fakta bahwa politics matter in institutional analysis yang ditemukan dalam konteks bagaimana sebuah institusi terbentuk dari tekanan kontrol-institutional yang bersifat politis/kuasa-sistemik. Namun situasinya menjadi berbeda jika dibandingkan dengan adanya peranan IMF yang meminta atau mungkin dapat dikatakan āmemaksaā, dengan menjadikan sistem ini sebagai bagian dari Letter of Intent Pemerintah RI untuk mewujudkan sistem pembayaran elektronik untuk mengadministrasikan pembayaran pajak sebagai langkah meminimalkan indikasi ākebocoranā yang terjadi Brondolo, et al., 2008; Dwiputranto, 2008; Depkeu, 2009. Konteks yang ikut melengkapi dan perlu dipertimbangkan dalam situasi ini adalah bahwa saat itu otoritas perpajakan sedang membangun kantor pelayanan pajak yang khusus menangani wajib pajak besar dan termasuk di dalam rangkaian pembentukan itu adalah adanya fasilitas pembayaran secara online. Hal ini diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-383/PJ./2002 tentang Tata Cara Pembayaran Setoran Pajak Melalui Sistem Pembayaran On-Line dan Penyampaian Surat Pemberitahuan dalam Bentuk Digital. Dalam situasi yang demikian ini ternyata kontrol-institusional āinternalā dilihat dari lingkungan organisasi Kementerian Keuangan kurang kuat memicu perubahan institusi. Sebaliknya, kuasa-sistemik disiplin, dominasidari institusi eksternal sebagai kontrol-institusional mempunyai pengaruh yang lebih kuat dalam mengubah perilaku aktor. Resistensi-institusional sebagai respon dari para aktor terhadap kontrol-institusional dapat saja berupa penolakan atau dukungan. Pelajaran penting dari situasi ini adalah bagaimana menciptakan resistensi-institusional yang sesuai dengan keinginan pemilik kontrol. Apakah yang diinginkan dari resistensi-institusional harus selalu dukungan? Dalam hemat penulis, belum tentu. Karena bisa saja pemilik kontrol-institusional masih menginginkan suatu institusi itu bertahan. Bagian dari politik-institusional adalah bagaimana menggunakan kontrol-instistusional untuk memengaruhi tindakan aktor untuk membuat atau menghapus institusi. Keagenan-Institusional Pengaruh dan Tekanan Aktor Terdapat sebuah fenomena menarik berkaitan dengan apa yang sekarang dikenal sebagai SPNsE ini. Pada tahun 2003 otoritas perpajakan Indonesia mengajukan inisiatif pengembangan suatu sistem-aplikasi yang disebut sebagai Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak MP3. Direktur Jenderal Pajak dengan menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-162/PJ/2003 tentang Pelaksanaan Sistem Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak MP3 pada Direktorat Jenderal Pajak, mengajukan inisiatif sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 2 keputusan ini āPembayaran Pajak dengan menggunakan SSP khusus dianggap telah masuk ke rekening Kas Negara apabila informasi pembayaran setoran pajak yang diterima dari Direktorat Informasi Perpajakan melalui Sistim Informasi Perpajakan atau Sistim Administrasi Perpajakan Terpadu telah sesuai dengan DNP/RDD yang diterima dari KPKN mitra kerja atau Kanwil/KPP Koordinator.ā Pengembangan dan implementasi sistem MP3 ini dalam kerangka kerja politik-institusional yang diajukan Lawrence 2008 dapat dipandang sebagai keagenan-institutional. Kebertindakan-agen untuk menghilangkan suatu institusi yang stabil sistem POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 administrasi pembayaran pajak saat itu masih manual, belum menggunakan mekanisme transaksi elektronik secara real time dengan institusi yang baru sebuah lingkungan sistem berbasis layanan elektronik sebagaimana dijelaskan oleh Darono, 2011. Demikian pula halnya DJA selaku otorisator PNBP sebagai aktor, implementasi MPN-G2 memungkinkan ekstensi fitur sistem-aplikasi Simponi-PNBP dengan mekanisme billing sebagaiman yang selama ini telah telah dikenal dalam sistem pembayaran di sektor komersial. Keberhasilan MPN menjadi sebuah institusi yang stabil dalam struktur pengelolaan keuangan negara sebagai dampak dari adanya kontrol-institusional tertentu pada gilirannya menimbulkan tindakan-agen untuk mengubah institusi yang telah ada tersebut menjadi lebih kompatibel dengan perubahan sosial. Pada setting situasi yang lain, ternyata kebijakan impelementasi sistem aplikasi MPN ternyata menjadikan bank persepsi bertindak dan menggunakan pengaruh mereka keagenan-instutitonal sebagai salah satu aktor dalam sistem penerimaan negara dengan menjadikan kemampuan mereka melakukan pertukaran data pembayaran tagihan pajak ataupun pada tahap berikutnya adalah penerimaan negara secara umum untuk memengaruhi institusi yang ada dalam pengaruh bank persepsi tersebut misalnya cara para nasabah melakukan pembayaran. Ambil contoh tanggapan dari salah satu bank yang terkait dengan hal ini, yang mengungkapkan implementasi MPN-G2 sebagai peluang bisnis baru ā ... BRI akan kerahkan 19 ribu ATM, lebih dari 85 ribu EDC, dan lebih dari unit kerja BRI di seluruh Indonesia, BRI siap memberikan kemudahan dan beragam pilihan bagi WP, WB maupun WS untuk melakukan transaksi pembayarannya,ā ujarnya. ... ā Sumber Terbitnya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2014 tentang Sistem Pembayaran Pajak Secara Elektronik juga merupakan keagenan-institusional yang membawa perubahan yang membawa kemudahan bagi pembayaran/penyetoran pajak. Kemudahan tersebut adalah 1 diizinkannya penggunaan EDC sebagai sarana pembayaran pajak, melengkapi yang selama ini telah ada; 2 Kode Billing dapat diperoleh secara host-to-host dari sistem milik pembayar/penyetor, dengan bank persepsi dan sekaligus dengan otoritas perpajakan. Hal ini secara eksplisit sudah ditawarkan sebagai bagian dari layanan cash management beberapa bank lihat misalnya publikasi/advertorial BRI tanpa Tahun; BNI tanpa tahun; dan juga Bank Mandiri tanpa tahun. Sepertinya untuk jenis pembayaran/penyetoran lain akan tiba waktunya dibuka layanan host-to-host dengan sistem-aplikasi SPNsE/MPN-G2. Sorotan highlight dari bahasan atas fakta penelitian di bagian ini adalah bahwa kerangka politik-institusional yang ditawarkan oleh Lawrence 2008 ternyata belum menjelaskan bagaimana keagenan-institusional melalui pengaruh/tekanan itu berjalan. Temuan penelitian ini mengungkapkan, bahwa kontrol-institusional itu malah dapat terwujud dengan adanya institutional entrepreneur, agen yang mampu bertindak untuk membuat atau mengubah institusi yang dianggapnya sudah tidak sesuai dengan situasi sosial-organisasional. Resistensi-Institusional Praktik-praktik Diskursif Aktor Bagian ini diawali dengan kembali merujuk kasus pembangunan sistem-aplikasi MP3 oleh otoritas perpajakan. Pertanyaannya, sekali lagi, adalah mengapa otoritas perbendaharaan pada waktu itu tidak segera merespon permintaan otoritas perpajakan untuk mengembangkan dan mengimplementasikan sebuah sistem pengolahan pembayaran pajak secara real-time sehingga harus ada terlebih dulu sistem MP3, baru kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi MPN dan MPN-G2? Pada situasi inilah perlu diperhatikan adanya reaksi-aktor oleh Lawrence, 2008 disebut sebagai resistensi terhadap kontrol- ataupun keagenan- institutional yang diperlihatkan oleh masing-masing aktor. Fenomena ini sebenarnya adalah munculnya sebuah resistensi-institusional dari para aktor yang terlibat sebagai bentuk reaksi mereka terhadap kontrol ataupun tindakan yang harus mereka hadapi. Dalam satu situasi bisa saja langsung menolak ataupun sebaliknya langsung menerima. Mengapa implementasi sistem-aplikasi MP3, MPN, MPN-G2 mengalami berbagai dinamika yang berbeda-beda walaupun aktor dan institusinya relatif sama? Jawabannya, dalam hemat penulis adalah bentuk resistensi-institusional yang ada pada setiap tahapan implementasi tersebut berbeda-beda, bergantung merujuk Foucault dalam Jones, 2003 pada wacana yang mendominasi atau praktik-diskursif yang terjadi pada setiap situasi. Wacana yang mendominasi situasi otoritas perpajakan saat itu adalah tuntutan modernisasi layanan pajak lihat Brondolo, et al., 2008; Boediono, 2009 yang hal itu bahkan adalah bagian dari janji kepada pihak lain yang memberi pinjaman kepada pemerintah Indonesia sebagai bagian dari proses pemulihan ekonomi dari deraan krisis ekonomi. Sementara itu, dalam hemat penulis rasa keterdesakan sense of urgencyyang sama belum ditemukan di sisi otoritas yang lain. Akibatnya, resistensi-institusionalnya akan berbeda. Namun demikian, resistensi-institusional ini belakangan dapat dikatakan berkurang drastis jika tidak dapat dikatakan telah hilang sama sekali. Situasi demikian ini dapat dilihat dari inisiatif untuk mengoneksikan bank persepsi dengan DJPb dan selanjutnya dengan DJP/DJA/DJBC dalam bentuk MPN bahkan kemudian menjadi SPNsE MPN-G2 dengan segala kampanye kepada publik tentang fitur unggulan dan kemanfaatannya menjadikan resistensi-institusional atas implementasi sistem ini seolah tidak POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 pernah ada. Artinya, dalam pandangan penulis, hali ini menunjukkan bagaimana praktik diskursif para aktor untuk memilih teks, wacana, dan institusi menjadi penting dalam menghadapi resistensi-institusional. Catatan penulis pada bagian ini jika dihubungkan dengan bahasan pada temuan pada bagian sebelumnya adalah pentingnya pengguna konsep politik-institusional ini menerapkannya sebagai bentuk yang simultan. Tidak bisa seseorang melihat sebuah fenomena hanya sebagai kontrol-institusional atau keagenan-instituisonal saja. Namun, kajian harus dilakukan secara serentak bahwa kontrol akan menimbulkan resistensi yang dampaknya sampai pada tindakan keagenan. Selebihnya penulis setuju dengan apa yang ditawarkan Lawrence 2008, bahwa kajian institusional perlu mempertimbangkan aspek politik di dalamnya. Refleksi dan Rekomendasi Kebijakan Lawrence 2008 mengajukan konsepnya tentang bagaimana politik kuasa-wewenang seharusnya didudukkan dalam analisis institusional namun ternyata dia tidak menjelaskan lebih detil tentang 1 dari mana aktor mendapatkan ide/gagasan/tekad untuk menjalan resistensi-institusional untuk merespon kontrol-institusional ataupun keagenan-institusional?; 2 aktor manakah yang mampu paling mungkin melaksanakan keagenan-institusional? Jawabannya adalah 1 institutional logics; 2 institutional entrepreneurs. Penelitian ini sebagai hasil studi empiris ingin mengajukan rekomendasi kebijakan,yang mungkin dapat dipertimbangkan oleh para pemangku kepentingan reformasi birokrasi secara umum ataupun secara khusus mereka yang memangku implementasi sistem informasi bebasis TIK untuk pengelolaan keuangan negara atau daerah. Rekomendasi ini sebenarnya semacam penerapan prinsip transferability kesimpulan sebuah studi kasus untuk dapat diterapkan transfered ke kasus situasi yang lain. Rekomendasi tersebut adalah 1 aspek teknis tetap merupakan syarat mutlak keberhasilan implementasi sistem berbasis TIK, hal ini menyangkut validitas data ataupun kinerja sistem misalnya waktu respon atau akses yang efisien; 2 aspek politik-insittusional untuk melihat bagaimana sistem yang dibangun ini jika diletakkan dalam konstelasi sistem yang telah ada existing system. Artinya memahami kontrol-institusional, keagenan-institusional dan resistensi-insitusional sebagai sebuah rangkaian yang utuh dari berbagai institusi yang ada merupakan modal penting kesuksesan implementasi sebuah sistem. Dalam kerangka konsepsual politik-institusional dan relasi wacana-institusi, dengan menggunakan teknik analisis wacana, sistem pembayaran merupakan adalah teks yang menjadi wacana dan kemudian menginstitusi. Teks itu menjadi institusi karena kedudukan aktor yang mampu menggunakan kuasa-episodik untuk menghilangkan institusi lama sistem pembayaran yang masih manual, yang sarat dengan pekerjaan klerikal dan menggantinya dengan institusi baru SPNsE. Bahkan, lebih dari itu institusi baru yang dibentuk tersebut mampu memengaruhi para aktor yang terlibat di dalamnya dan juga mampu menarik aktor baru melalui kuasa-sistemiknya. 6. KESIMPULAN Berdasarkan analisis data dan pembahasan dengan menggunakan teknik IPA yang telah dilakukan di atas, kesimpulan sekaligus lesson-learned dari kasus yang dianalisis ini adalah 1 kontrol-institusional dapat mengakselerasi muncul SPNsE sebagai institusi baru; 2 aktor organisasi dapat menggunakan keagenan-institusional untuk memperluas fungsi institusi; 3 wacana-dominan memengaruhi aktor untuk membuat, mentransformasikan ataupun menghilangkan sebuah institusi; 4 sulitnya keagenan-institusional menjangkau institusi yang berada di luar jangkauan-kuasa sang aktor. Namun pantas dicatat, pada situasi yang lain keagenan-institusional relatif berhasil mentransformasikan institusi yang berada di dalam jangkauan-kuasa aktor. Apa yang membedakan situasi tersebut? Resistensi-institusional, yaitu bagaimana aktor merespon disiplin/dominasi yang datang kepada mereka dan kemudian bagaimana mereka mengubahnya menjadi pengaruh/tekanan terhadap institusi yang ada, apakah mereka hendak menghapus dan membuat institusi baru atau mengubah institusi yang sudah ada. Dari sisi metodologi penelitian, tulisan ini dengan menggunakan kerangka pemikiran yang ditawarkan Lawrence 2008 berusaha memberikan alternatif sudut pandang untuk memahami bagaimana saling-pengaruh interplay aspek-aspek politik-institusional dalam proses pengembangan dan implementasi suatu sistem informasi di lingkungan pemerintahan. Kerangka pemikiran tersebut dapat digunakan dengan beberapa catatan bahwa peneliti harus jeli dalam menangkap fenomena yang muncul untuk kemudian menetapkan dari titik mana ia akan memulai analisisnya. Dalam pandangan penulis, kerangka kerja ini dapat dikembangkan lebih lanjut oleh para peneliti di bidang TIK-organisasi khususnya di Indonesia untuk melengkapi berbagai kerangka pemikiran yang selama ini telah digunakan, terutama pada saat penelitian yang menggunakan pendekatan non-positivitik dengan tujuan memahami implementasi TIK sebagai artefak sosio-teknikal. DAFTAR PUSTAKA Avgerou, Chrisanthi. 2000,"IT and Organizational Change an Institutionalist Perspective." Information Technology and People, 134, pp. 234 - 62. Avgerou, Chrisanthi. 2004, "IT as an Institutional Actor in Developing Countries," S. Krishna dan S. Madon, The Digital Challenge Information Technology in the Development Context. Aldershot, UK Ashgate Publishing, 46-62 BankMandiri. tanpa tahun, "Dorong Peningkatan Penerimaan Pajak, Mandiri Edukasi Perusahaan," URL POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 Berntsen, Kirsti E.; Sampson, Jennifer dan Ćsterlie, Thomas. 2004, "Interpretive research methods in computer science," URL BNI. tanpa tahun, "SEKILAS CASH MANAGEMENT," URL Boediono. 2009, "Kebijakan Fiskal Sekarang dan Selanjutnya," A. Abimanyu dan A. Megantara, New Era of Fiscal Policy Pemikiran, Konsep dan Aplikasi. Jakarta Penerbit Buku Kompas Bondarouk, Tatyana dan Ruel, Huub. 2004, "Discourse analysis making complex methodology simple.". The European IS Profession in the Global Networking Environment. Turku School of Economics and Business Administration, Turku, Finland. , 2004 Bowen, Glenn A. 2009,"Document Analysis as a Qualitative Research Method." Qualitative Research Journal, 92, pp. 27-40. BRI. tanpa tahun, "Cash Management System BRI," URL Brondolo, John; Silvani, Carlos; Borgne, Eric Le dan Bosch, Frank. 2008, "Tax Administration Reform and Fiscal Adjustment The Case of Indonesia 2001-07," IMF Working Paper Washington, Fiscal Affairs Department - International Monetary Fund, 2008 Bungin, Burhan. 2012, Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta Kencana Predana Media Group Carls, Paul. tanpatahun, "Ćmile Durkheim 1858ā1917," The Internet Encyclopedia of Philosophy, URL Cole, D. H. 2013,"The Varieties of Comparative Institutional Analysis." Wisconsin Law Review, 2013, pp. 383-409. Currie, Wendy. 2008, "Institutionalization of IT Compliance A Longitudinal Study". International Conference on Information System ICIS. 2008 Darono, Agung. 2011, "Modul Penerimaan Negara Tinjauan terhadap Fungsinya sebagai Layanan Elektronis". The Conference on Information Technology and Electrical Engineering CITEE 2011. Electrical Engineering and Information Technology Department, Gadjah Mada University, Yogyakarta, 2011 Darono, Agung. 2012, "Tinjauan Interpretatif terhadap Aspek-Aspek Institusional dalam Implementasi Layanan Elektronik Studi Kasus PT. XYZ," Magister Teknolog Informasi. Yogyakarta Universitas Gadjah Mada, 2012 Darono, Agung. 2013a, "Paradigma Kritis dalam Penelitian Sistem Informasi di Indonesia Perlukah?". Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi. Universitas Islam Indonesia - Yogyakarta, 2013a Darono, Agung. 2013b, "Public Sector Innovation through e-Services The Case of Indonesian Tax Administration ". International Conference on Indonesia Development. The Hague, The Netherlands PPI Belanda, 2013b Darono, Agung. 2014, "Kajian Ekonomi-Politik Informasi di Indonesia Pentingkah?". Doctoral Colloquium and Conference. Faculty of Economics and Business - University of Gadjah Mada, Yogyakarta, 2014 Darono, Agung. 2015,"Fiscal Management in Indonesia The Perspective of Political-Economy Information." Journal of Applied Indonesian Economics, 61, pp. 87-101. Depkeu. 2009, "āMenata Keuangan Negara Melalui Reformasi Birokrasiā Laporan Kinerja Departemen Keuangan 2004-2009," D. Keuangan, Jakarta, 2009 DiMaggio, Paul J. dan Powell, Walter W. 1991,"The Iron Cage Revisited Institutional Isomorphism and Collective Rationality in Organizational Fields." American Sociological Review, 482, pp. 147-60. Djamhuri, Ali. 2011, "Paradigma dan Riset Akuntansi Interpretif," Accounting Research Training Series 2 Malang - East Java Faculty of Economics and Business - University of Brawijaya, 2011 DJPbn. 2014, "Direktur PKN Seluruh Penerimaan Negara Harus Disetorkan Melalui Bank/Pos Persepsi Dengan Menggunakan MPN," Jakarta Direktorat Jenderal Perbendaharaan DJPbn, URL DJPbn. tanpatahun, "Modul Penerimaan Negara MPN," Jakarta DJPbn, URL Dwiputranto, Antonius Danang. 2008, "State Revenue Module MPN as e-Government Implementation Its Impact towards Taxpayers' Services in Bahasa Indonesia," Department of Administration, Faculty of Social and Politic Sciences. Jakarta University of Indonesia, 2008 Eriyanto. 2011, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta LKiS Ezer, Jonathan Frederick. 2005, "The Interplay of Institutional Forces Behind Higher ICT Education in India," Department of Information Systems. Londo London School of Economics and Political Science, 2005 Glynos, Jason; Howarth, David; Norval, Aletta dan Speed, Ewen. 2009, "Discourse Analysis Varieties and Methods," ESRC National Centre for Research Methods Review, 2009 POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 Hardy, Cynthia. 2001,"Researching organizational discourse." International Studies of Management & Organization, 313, pp. 25-47. Howcroft, Debra dan Trauth, Eileen M. 2004, "The Choice of Critical Information Systems Research," B. Kaplan, D. P. T. III, D. Wastell, A. T. Wood-Harper dan J. I. DeGross, Information Systems Research Relevant Theory and Informed Practice. Springer IMF. 2003, "Letter of Intent, Memorandum of Economic and Financial Policies, and Technical Memorandum of Understanding," International Monetary Fund IMF, URL Jones, Pip. 2003, Pengantar Teori-teori Sosial dari Fungsionalisme hingga Post-modernisme. diterjemahkan oleh Achmad Fedyani Saifuddin. Jakarta Yayasan Pustaka Obor Indonesia Kemenkeu. 2015, "Frequently Asked Questions - Transformasi Kelembagaan," Jakarta Kementerian Keuangan Kemenkeu, URL Kling, Rob. 1999,"What is Social Informatics and Why Does it Matter?" D-Lib Magazine, 51. Kling, Rob; Rosenbaum, Howard dan Sawyer, Steve. 2005, Understanding and Communicating Social Informatics A Framework for Studying and Teaching the Human Contexts of Information and Communication Technologies. Medford, New Jersey Information Today Koentjaraningrat. 1983, Kebudayaan, mentalitas dan pembangunan. Jakarta Gramedia Larsen, Allen, G.; Vance, A. dan Eargle, D. 2014, "Theories Used in IS Research," URL Lawrence, Thomas B. 2008, "Power, Institutions and Organizations," R. Greenwood, C. Oliver, R. Suddaby dan K. Sahlin, The SAGE Handbook of Organizational Institutionalism, . London SAGE Publications Ltd, 170-98 Masdi, Arief. 2012, "Pembangunan SIMPONI Sistem Informasi PNBP Online," Warta Anggaran. Jakarta Direktorat Jenderal Anggaran, 2012 McLeod, Raymond dan Schell, George P. 2001, Management information systems. Englewoods Cliff Prentice Hall Meyer, John W. dan Rowan, Brian. 1977,"Institutionalized Organizations Formal Structure as Myth and Ceremony." American Journal of Sociology, 832, pp. 340-63. Moleong, Lexy J. 2010, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung Remaja Rosdakarya Myers, 1997,"Qualitative Research in Information Systems." MIS Quarterly 212, June 1997, pp. 241-242. MISQ Discovery, archival version, 212 June 1997, pp. 241-42. Myers, Michael D. dan Klein, Heinz K. 2011,"SET OF PRINCIPLES FOR CONDUCTING CRITICAL RESEARCH IN INFORMATION SYSTEMS." MIS Quarterly, 35 1, March 2011, pp. 17 - 36. Nasution, Anwar. 2007, "Sambutan dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara," Jakarta Badan Pemeriksa Keuangan, 2007 Parker, Ian. 1992,"Discourse dynamics Critical analysis for social and individual psychology." Phillips, Nelson; Lawrence, Thomas B. dan Hardy, Cynthia. 2004,"Discourse and Institutions." The Academy of Management Review, 294; Oct. 2004, pp. 635-52. Riawanti, Selly. 2015, "Metode Kualitatif dalam Ilmu-ilmu Sosial," Bandung Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, URL Scott, W. Richard. 2004, "Institutional Theory Contributing to a Theoritical Research Program," K. G. Smith dan M. A. Hitt, Great Minds in Management The Process of Theory Development. Oxford University Press, Sunarto, Kamanto. 2004, Pengantar Sosiologi. Jakarta Lembaga Penerbit Universitas Indonesia Thornton, P. H. dan Ocasio, W. 2008, " Institutional Logics," C. O. Royston Greenwood, Roy Suddaby, Kerstin Sahlin-Andersson, The Sage Handbook of Organizational Institutionalism. Los Angeles, London, New Delhi, Singapore Sage Publications, 99-129 Wahid, Fathul. 2011, "Explaining Failure of e-Government Implementation in Developing Countries a Phenomenological Perspective". Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi SNATI 2011. Universita Islam Indonesia, Yogyakarta, 2011 Wahid, Fathul dan Sein, Maung K. 2013,"Institutional entrepreneurs The driving force in institutionalization of public systems in developing countries." Transforming Government People, Process and Policy, 71. Wahyuni. 2012, "studi eksploratori keselarasan strategi teknologi informasi dan strategi bisnis," S3 Manajemen UGM Yogyakarta Universitas Gadjah Mada, 2012 Walsham, Geoff. 1993, Interpreting information systems in organizations. London John Wiley and Sons Walsham, Geoff. 2006,"Doing interpretive research." European Journal of Information Systems 2006 15, 320ā330, 15, pp. 320-30. Weir, Margaret. 2003, "Institutional Politics and Multi-Dimensional Actors Organized Labor and Americaās Urban Problem," Crafting and Operating Institutions Conference. Yale University April 11-13, 2003, 2003 Worldbank. 2002, "The E-Government Handbook For Developing Countries," Washington Center for Democracy and Technology - World Bank, 2002 POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 Yin, Robert K. 1981,"The Case Study Crisis Some Answers." Administrative Science Quarterly, 261, pp. 58-65. Yin, Robert K. 2009, Case study research Design and methods 4th ed.. Thousand Oaks, CA Sage Yin, Robert K. 2011, Qualitative Research from Start to Finish. New York THE GUILFORD PRESS Yustika, Ahmad Erani. 2010, "Kebijakan Reformasi dan Kerapuhan Kelembagaan Ekonomi Ikhtiar Meluruskan Arah Perekonomian Nasional," Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Ekonomi Kelembagaan Pada Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, 2010 ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication. Agung DaronoThis research aims to determine what institutional aspects may influence the organization to implement electronic services. This research used a qualitative-interpretive research method with a single case study research strategy. The findings of this research were 1 the type of institutional pressures normative/mimetic/coercive that surround the organization and the business impact of these pressures determines the response/action of organization isomorphism; 2 the organization uses its institutional logic to perform isomorphism, and the result was the decision to develop an electronic service as one of the steps to face existing institutional pressures. This research also proposed a framework which is expected to be used by an organization to identify the institutional aspects related to the implementation of electronic services as a mechanism to respond to these pressures by appropriate isomorphism action. Agung DaronoAs the State Treasurer, the Minister of Finance has the authority to determine the State Cash Receipt and Disbursement System. In this regard, the Minister of Finance has developed a State Revenue Module MPN as a revenue module which contains a series of procedures, from receipt, deposit, data collection, recording, and summarizing to reporting related to state revenue. From the viewpoint of the informatics discipline, MPN is a form of electronic service. This paper aims to analyze the function of MPN as an electronic service. This research is descriptive by describing what MPN is and analyzing it with several propositions related to electronic services. This study concludes that as an electronic service, MPN has several aspects whose performance can still be improved. One of these efforts is to complement MPN with a formal Service Level Agreement SLA between service providers and users. It is intended that all parties related to MPN services can have the same standard reference regarding the services provided. Apart from that, e-banking services in MPN should also be revitalized, so MPN users will increasingly utilize this facility. For this reason, it is necessary to think about incentive-disincentive strategies as the banking industry has succeeded in placing ATMs/e-banking as an alternative service that is increasingly in demand besides conventional services through bank tellers. Agung DaronoFiscal management is an effort to formulate fiscal policies to be implemented, controlled, and responsible based on the government regulation. For this purpose, fiscal authority undoubtedly needs an adequate support from the stateās financial information. The provision of information for the sake of this fiscal management cannot only be seen as an issue of economic information which tends to emphasize on the process of information allocation, production, distribution, and consumption as an economic commodity. Using political-economy information of conceptual framework, the information provision in the context of fiscal management is more of a constellation of various existing economic-information that should be correlated with the involved actors, and comprehensively take into account the surrounding social-political structure. By employing an interpretive policy analysis as the data analysis approach, this study finds that fiscal authority in Indonesia has gradually made a number of efforts to improve the mechanism of the nationās financial information provision for those who have fiscal management interests, either from income information tax/non-tax or expenditure information. In some conditions, it is identified that the initiative of information provision for the advantage of fiscal management as well as its implementation requires proper political support. Fathul WahidThe empirical evidence indicates that most e-government implementation in developing countries suffer from either total or partial failure. Drawn upon the concepts offered by phenomenology and taking into account the design reality gaps and e-government dimensions proposed by Heeks 2003, this paper attempts to seek a fresh explanation of the phenomenon of e-government failure. Phenomenology as a theory, along with hermeneutics, offers a clear explanation on why e-government implementation fails. A better understanding of this phenomenon is expected to be useful to increase the chance of success and at the same time to reduce the risk of e-government failure. Agung DaronoThe use of information and communication technology ICT as contemporary social-, government-, or business- constellation requires more comprehensive analysis tools, broader than "just" technical-technological point of view. This study bring up a proposition that political-economy of information perspective can be deployed as a conceptual framework in order to simultaneously seek and reveal how economic aspects of a political-information constructs as well as political aspects of an economic-information constructs interplay each other, and in turn provide deeper understanding towards role and position of information as part of a social, public policy, or business constellation. By using secondary data gathered through documentation study, this proposed conceptual framework combined with critical discourse analysis then deployed to carry out a multiple cases study analysis to unwrap how do banking sector, public finance management, and telecommunications business utilize their information Agung DaronoPenelitian sistem informasi SI memerlukan skala yang lebih luas dari āsekedarā bagaimana menciptakan artefak-SI yang lebih mutakhir. Artefak-SI pada akhirnya menjadi bagian dari interaksi sosial. Jadi, penelitian SI perlu melibatkan perspektif struktural, hubungan antar-manusia, aspek institusional dan bahkan politik-antar-kelas. Untuk itu, penelitian SI dapat mempertimbangkan untuk menggunakan paradigma kritis critical information systems research. Paradigma penelitian adalah asumsi-asumsi dasar tentang apa menjadikan sebuah penelitian itu, āsahā. Paradigma kritis akan melihat artefak SI dari sudut pandang yang berbeda dengan paradigma positivis. Berbagai artefak-SI yang selama ini dilihat dari kacamata teknis-SI implementasi ERP atau keamanan basisdata misalnya, dapat ditelaah lebih dalam dengan menggunakan perspektif kritis seperti dominasi dan politik-antar-kelas, kekuasaan dan penguasaan, pembebasan, pemberdayaan, emansipasi, ataupun demokratisasi. Penelitian ini mengungkapkan bahwa terdapat area penelitian SI di Indonesia yang memungkinkan penggunaan paradigma kritis ini. Harapannya, penelitian SI di Indonesia tidak hanya memandang praktik/artefak-SI sisi positivis saja, sehingga akan mendapatkan hasil penelitian dengan sudut pandang yang berbeda. Agung DaronoProviding simple, affordable and fast public services is a necessity in public administration, especially in tax administration. To simplify tax administration process, tax authority in Indonesia has initiated several types of service innovations. The main part of these innovative measures is based on electronic services e-services. These tax e-services include e-registration, e-payment and e-filing. They were introduced around mid-2002 in conjunction with organisational transformation initiative of the Directorate General of Taxes DGT as Indonesiaās tax authority. The purpose of this study is to unveil why and how the initiative of service innovation development based on e-services has taken place from the beginning until todayās recent implementation. This research deploys qualitative-interpretive method based on tax policies review. This paper uses institutional theory with discourse analysis as data analysis technique. The results of this study reveal that there are institutional pressures that affect the tax authority to start and provide service innovation through e-services. In the perspective of institutional pressures, the initiative brought by DGT to establish innovative services based on e-services basically came from their internal-normative pressures. But, such internal-normative pressures is not powerfull enough. Consequently, the e-services based e-payment initiatives could not be implemented because of legal provisions that are out of the tax authority hands. The initiatives gain its momentum for the DGT when normative pressure turns into coercive pressure. This change of pressures occurred at the time when the Government of Indonesia signed a memorandum with the International Monetary Fund IMF, in which one point in the agreement was to develop a real-time/on-line tax payment system that would integrate the banking institution as a point of payment, the treasury authority and the tax authority. This momentum was even then used by the tax authority to expand the types of those e-services, including e-registration and e-filing. Furthermore, results from these initiatives still run to this day. Even, there are some additional features built to simplify the whole tax administration systems. Finally, this case reveals how to utilize and manage the various institutional pressures surround an organisation and then to support service innovations initiative to improve organisational HardyIn recent years, the body of theory on organizational discourse has grown significantly, helping to form a specific field of study and also contributing to broader organization and management theory. During this time, empirical work using discourse analysis has also increased, as organizational researchers have drawn on methods established in other domains of study to examine organizations. However, the study of organizational discourse is not without difficulties, especially for researchers wishing to conduct empirical studies. This article identifies four particular challenges for empirical researchers and then describes how an ongoing program of organizational research using discourse analysis has attempted to address them. It also highlights some of the important contributions that empirical studies of organizational discourse can offer toward the understanding of organizational While institutional theory is used widely in the information system IS literature to study implementation of systems, the actual process of institutionalization has received less attention. The purpose of this paper is to address this gap in the literature by using three concepts drawn from the theory, namely, institutional isomorphism, institutional logic and institutional entrepreneurship, and the interplay between them to explore the role of the dominant institutional entrepreneur in the institutionalization of a public system, as an instance of eāgovernment initiatives. Design/methodology/approach In an interpretive case study, this study examined the institutionalization process of an eāprocurement system over a fourāyear period 2007ā2011 in the Indonesian city of Yogyakarta. Findings This study reveals that different institutional isomorphism mechanisms emerge during the process and institutional logics evolve over time. More interestingly, it uncovers the dominant role of an institutional entrepreneur, the city's mayor, who mobilized resources and support to drive the institutionalization process. At the beginning stage, institutionalization is best described as a process of instilling values, cultivated by the mayor, followed by a process of creating reality through a typification process, whereby the eāprocurement system is embedded in the existing practices and institutionalized. Research limitations/implications As an interpretive study, the findings are generalized to theoretical concepts rather than the population. The interrelationship between the three concepts of institutional theory represents plausible rather than deterministic links. It also offers practical insights, such as eāprocurement implementation strategy. Originality/value This paper goes beyond simply using institutional theory as an interpretive lens by examining the interrelationship between the mechanisms of institutionalization. It shows that the main catalyst of the institutionalization process is the institutional entrepreneur who managed the institutional isomorphism and was instrumental in changing the institutional logic. It also presents lessons from a successful case where corrupt practices were highly institutionalized at the beginning but were decreased through the system.
Ekonomi dan politik merupakan dua aspek atau sektor terpenting dalam sebuah negara. Dua aspek ini tidak bisa dipisahkan karena memiliki hubungan yang sangat erat, bila mereka berdiri sendiri niscaya akan terjadi sebuah masalah yang besar di suatu negara tersebut. Ekonomi adalah ilmu yang mempelajarai tentang tata keuangan suatu negara. Baca juga fungsi ilmu ekonomi dan fungsi ilmu ekonomi regional. Sedangkan politik merupakan ilmu yang mempelajari seluk beluk tentang tata negara, baik yang berhubungan dengan pembangunan ataupun antara ekonomi dan politik bisa dilihat dari berbagai aspek, mulai dari sejarahnya, perkembangannya dan lainnya. Semua itu menunjukkan bahwa memang ada hubungan yang erat antara ekonomi dan politik. Hubungan tersebut antara lain Aspek sejarahPara pemikir terdahulu menganggap bahwa ilmu ekonomi merupakan cabang dari ilmu politik. Karena pada saat itu pokok atau inti urusan keuangan atau financial suatu negara dilihat dan diambil dari sumber penghasilan negara yang telah masuki ke ranah ilmu politik. Hal inilah yang menyebabkan ilmu ekonomi dianggap sebagai cabang dari ilmu antara ilmu ekonomi dan ilmu politikSeiring perkembangan zaman ilmu ekonomi yang dianggap merupakan cabang dari ilmu politik telah berdiri sendiri atau menjadi independent. Dimana ilmu ekonomi memiliki kajian tersendiri yaitu berupa, apa, bagaimana, dimana, dan bagaimana seorang masyarakat bisa mencari uang dan mengolah keuangannya. Namun meskipun independen ekonomi juga memiliki keterkaitan di beberapa titik ilmu politik, sehingga hal inilah yang menyebabkan para ahli memadukan antara ekonomi dan politik menjadi satu disiplin ilmu yang bernama ekonomi ekonomi politik ini memfokuskan kajiannya pada fenomena-fenomena ekonomi secara keseluruhan atau universal, yang berjalan serta dikaji dan ditelaah menjadi lebih spesifik, yaitu melihat dan memahami interaksi yang terjadi diantara faktor-faktor ekonomi dan faktor-faktor yang dimiliki oleh tujuan suatu negaraSemua negara tentunya memiliki tujuan untuk mensejahterakan masyarakatnya dan menciptakan kondisi yang mendukung untuk perkembangan dan kemajuan negaranya. Dalam hal ini pemerintah melakukan beberapa trobosan seperti halnya membuat kebijakan-kebijakan serta suatu hukum yang melindungi masyarakat lemah dan menciptakan sebuah keadilan, hal ini dibahas dalam ilmu hal tersebut untuk kesejahteraan dan kemakmuran butuh yang namanya pembangunan di berbagai aspek, seperti pembuatan lapangan kerja, pelatihan kerja, melangkapi fasilitas umum dan lainnya yang berhubungan dengan perwujudan pertumbuhan, stabilitas dan efisiensi dalam suatu negara. Hal ini dibahas dalam ilmu ekonomi. Untuk itulah untuk mencapi suatu tujuan negara perlu adanya hubungan atau keterkaitan antara ilmu ekonomi dan ilmu terkait pencapaian tujuan Cara mengatur keuangan pribadi agar masa depan cerahCara bisnis online shop bagi pemula agar suksesCara memulai dan menjalankan bisnis pulsa super mudahCara lolos interview kerjaKerjasama antar ahli sarjana di masing-masing bidangDalam hal ini antara sarjana ekonomi dan sarjana politik bisa saling bertukar ilmu atau bekerjasama dalam mencapi suatu tujuan tertentu. Pada saat ingin mengajukan kebijakan atau strategi ekonomi tertentu, seorang sarjana ekonomi bisa bertanya pada sarjana politik tentang apakah hal yang efektif dan efisien untuk mencapai tujuan ekonomi. Selain itu juga saat mengajukan kebijakan yang bisa digunakan untuk memperbesar produksi nasional, sarjana ekonomi juga bisa bertanya pada sarjana politik tentang bagaimana cara menanggulangi hambatan politis yang akan mereka temui dalam mencapai adalah pembangunan lima tahunan di Indonesia yang memperhatikan aspek sosial dan politik yang berubah akibat pergeseran perekonomian Indonesia. Sebaliknya juga sarjana politik bisa bertanya pada sarjana ekonomi tentang syarat-syarat yang berhubungan dengan ekonomi dalam pemenuhan pencapaian tujuan politis tertentu, khususnya yang berkaitan dengan pembinaan kehidupan demokrasi. Baca juga keuntungan dan kerugian bisnis franchiseAnalisa pembangunan berjalannya waktu ilmu ekonomi menjadi semakin berkembang, terjadi kemajuan di sana sini, terutama pada ekonomi internasional. Dengan pesatnya kemajuan ekonomi ini kehadiran dan kerjasama antara ilmu ekonomi dan ilmu politik. Kerjasama antara dua studi ini diperlukan untuk menganalisis apa saja yang mungkin terjadi saat pembangunan atau interaksi ekonomi secara internasional terjadi, sehingga mampu menyiapkan startegi dan siasat untuk menghadapi atau menatap semua hal yang mungkin akan terjadi pada saat itu. Baca juga hukum permintaan dan penawaranKondisi suatu negaraKehadiran dan hubungan antara ilmu ekonomi dan politik terlihat jelas sesuai dengan keadaan atau kondisi suata negara tersebut. Contohnya saat runtuhnya masa orde baru di Indonesia, terjadilah krisi moneter yang menunjukkan bahwa politik sangat mempengaruhi keadaan ekonomi suatu negara. Selain itu ada juga kejadian yang ada terjadi di Mesir atau Libya, perekonomian saat itu menurun dan mendapat masalah yang besar, negara mengalami kerugian besar-besaran di saat kondisi politik negara itu Amerika pun juga bisa kita lihat hubungan antara politik dan ekonomi yang sangat kuat, meskipuun di negara tersebut menerapkan free figt, tetapi perekonomiannya tetap kuat dan mememiliki pengaruh besar dalam pemilihan di atas merupakan fakta yang menunjukkan bahwa memang ekonomi dan politik memliki hubungan yang sangat erat, bahkan ketika salah satu dari mereka hilang atau tidak berjalan maka negara akan mengalami dan mendapatkan suatu masalah yang besar. Jadi pada intinya ekonomi dan politik memiliki keterkaitan satu sama lain.
interaksi antara sistem keuangan negara dengan sistem politik bersifat